Monday, July 9, 2018

The Praxis Teologi

Model Praksis dalam Kontekstualisasi Teologi

A.    Model Praksis
Ketika berbicara tentang model praksis menyangkut teologi kontekstual, maka kita berbicara tentang sebuah model, yang wawasan utamanya ialah bahwa teologi itu dilakkukan bukan melulu dengan menyediakan ungkapan-ungkapan yang relevan bagi iman kristen, melainkan terutama oleh komitmen kepada tindakan kristen. Namun lebih dari itu Bevans mengatakan bahwa teologi di pahami sebagi produk dari dialog yang berkesianambungan dari kedua segi kehidupan kristen diatas.[1] Praktisi model praksis mengadakan refleksi atas aksi dan mengadakan aksi atas refleksi. Praktisi model ini juga berkeyakinan bahwa mereka menemukan cara berteologi yang baru dimana menggubris pengalaman masa lampau (Injil, tradisi), serta pengalaman masakini (pengalaman manusia, kebudayaan, lokasi sosial dan perubahan sosial).[2]
Model praksis sangat erat kaitannya dengan teologi pembebasan. Namun menurut bevans model praksis tidak hanya mengangkat tema-tema pembebasan melainkan juga memberi perhatian pada sebuah konteks yang didalamnya terdapat ketidak adilan structural yang meraja lela. Dengan kata lain praktisi model praksis berteologi dengan melakukan aksi berdasarkan refleksi dan mengadakan refleksi atas tindakan.
Melihat esensi dari model praksis ini, penulis beranggapan bahwa model ini sangat relevan untuk menyikapi persoalan-persoalan yang sering terjadi dalam masyarakat majemuk khususnya persoalan pindah agama.
Max Heirich memberikan pengertian konversi religius sebagai suatu tindakan dengan mana seseorang atau kelompok masuk atau berpindah ke suatu sistem kepercayaan atau perilaku yang berlawanan dengan kepercayaan sebelumnya. Lebih lanjut lagi Heirich mendeskripsikan konversi religius sebagai tindakan seseorang atau kelompok mengadakan perubahan yang mendalam mengenai pengalaman dan tingkat keterlibatannya dalam agamanya ke tingkat yang lebih tinggi.[4] Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa esensi dari masuk atau pindah agama adalah tindakan yang pada akhirnya seseorang atau kelompok diharapkan hidupnya lebih baik dari kehidupannya sebelum masuk atau pindah agama. 
Menurut A.M Harjana, seseorang menganut agama tertentu dengan maksud untuk memperoleh ketentraman dan kebahagiaan hidup, karena itu seseorang telah menganut agama tertentu telah melalui proses pertimbangan-pertimbangan yang matang.[5] Dari penjelasan Harjana diatas seseorang menganut atau pindah agama telah melalui proses yang mendahuluinya. Dapat di simpulkan bahwa pindah agama memang diatasdasarkan perenungan yang mendalam dalam diri seseorang bukan karna sebuah paksaan dari orang lain atau kelompok agama tertentu.Menurut Andreas A. Yewangoe, hal berpindahnya seseorang ke agama lain mesti dilihat sebagai ungkapan kebebasan seseorang menghayati keberagamaannya baru. Pindah agama tidak boleh dilihat sebagai suatu kemurtadan yang secara hukum diberi sanksi. Kendati dari pandangan agama lama dari yang bersangkutan, hal pindah agama itu adalah murtad, tetapi ditinjau dari hak seseorang, hal itu mesti dilihat sebagi suatu kewajaran belaka. Dalam negeri yang begini terbuka, kemungkinan seseorang, untuk memahami agama lain memang sangat terbuka. Kita tidak dapat meminta seluruh saluran televisi dan radio ditutup agar seseorang tidak menonton dan mendengarkan pemberitaan agama lain. Jadi, kedewasaan dalam beragama mesti mendapat tempat dalam perilaku seseorang Indonesia.[6] Pendapat yewangeo diatas, hendak mengungkapkan bahwa hal pindah agama secara khusus dalam konteks negara indonesia harusnya di pandang wajar karna pindah agama merupakan murni hasil pengahayatan seseorang terhadap suatu agama yang dianggapnya mendatangkan kedamaian bagi dirinya.


[1] Stphan B. Bevans, Model-model teologi kontekstual, maumere, Ledalero, 2013, hal 131-132
[2] Ibid, hal 132
[3] Hendro Puspito, Sosiologi Agama (Yogyakarta:kanisius 1983) hal 78
[4] Ibid,hal 79
[5]Hajdana, A.M, penghayatan agama yang otentik dan yang tidak otentik, kanisius, Yogyakarta, 1993, hal.14
[6] Andreas.A.Yewangoe,Tidak Ada Penumpang Gelap; Wargagereja, Warga Bangsa, BPK, Jakarta,2009, Hal 52

0 comments:

Post a Comment