Model Praksis dalam Kontekstualisasi Teologi
A.
Model
Praksis
Ketika
berbicara tentang model praksis menyangkut teologi kontekstual, maka kita
berbicara tentang sebuah model, yang wawasan utamanya ialah bahwa teologi itu
dilakkukan bukan melulu dengan menyediakan ungkapan-ungkapan yang relevan bagi
iman kristen, melainkan terutama oleh komitmen kepada tindakan kristen. Namun
lebih dari itu Bevans mengatakan bahwa teologi di pahami sebagi produk dari
dialog yang berkesianambungan dari kedua segi kehidupan kristen diatas.[1] Praktisi
model praksis mengadakan refleksi atas aksi dan mengadakan aksi atas refleksi.
Praktisi model ini juga berkeyakinan bahwa mereka menemukan cara berteologi yang
baru dimana menggubris pengalaman masa lampau (Injil, tradisi), serta
pengalaman masakini (pengalaman manusia, kebudayaan, lokasi sosial dan
perubahan sosial).[2]
Model
praksis sangat erat kaitannya dengan teologi pembebasan. Namun menurut bevans model
praksis tidak hanya mengangkat tema-tema pembebasan melainkan juga memberi
perhatian pada sebuah konteks yang didalamnya terdapat ketidak adilan
structural yang meraja lela. Dengan kata lain praktisi model praksis berteologi
dengan melakukan aksi berdasarkan refleksi dan mengadakan refleksi atas
tindakan.
Melihat
esensi dari model praksis ini, penulis beranggapan bahwa model ini sangat
relevan untuk menyikapi persoalan-persoalan yang sering terjadi dalam
masyarakat majemuk khususnya persoalan pindah agama.
Max
Heirich memberikan pengertian konversi religius sebagai suatu tindakan dengan
mana seseorang atau kelompok masuk atau berpindah ke suatu sistem kepercayaan
atau perilaku yang berlawanan dengan kepercayaan sebelumnya. Lebih lanjut lagi
Heirich mendeskripsikan konversi religius sebagai tindakan seseorang atau
kelompok mengadakan perubahan yang mendalam mengenai pengalaman dan tingkat
keterlibatannya dalam agamanya ke tingkat yang lebih tinggi.[4]
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa esensi dari masuk atau pindah agama adalah
tindakan yang pada akhirnya seseorang atau kelompok diharapkan hidupnya lebih
baik dari kehidupannya sebelum masuk atau pindah agama.
Menurut
A.M Harjana, seseorang menganut agama tertentu dengan maksud untuk memperoleh
ketentraman dan kebahagiaan hidup, karena itu seseorang telah menganut agama
tertentu telah melalui proses pertimbangan-pertimbangan yang matang.[5]
Dari penjelasan Harjana diatas seseorang menganut atau pindah agama telah melalui
proses yang mendahuluinya. Dapat di simpulkan bahwa pindah agama memang
diatasdasarkan perenungan yang mendalam dalam diri seseorang bukan karna sebuah
paksaan dari orang lain atau kelompok agama tertentu.Menurut Andreas
A. Yewangoe, hal berpindahnya seseorang ke agama lain mesti dilihat sebagai
ungkapan kebebasan seseorang menghayati keberagamaannya baru. Pindah agama
tidak boleh dilihat sebagai suatu kemurtadan yang secara hukum diberi sanksi.
Kendati dari pandangan agama lama dari yang bersangkutan, hal pindah agama itu
adalah murtad, tetapi ditinjau dari hak seseorang, hal itu mesti dilihat sebagi
suatu kewajaran belaka. Dalam negeri yang begini terbuka, kemungkinan
seseorang, untuk memahami agama lain memang sangat terbuka. Kita tidak dapat
meminta seluruh saluran televisi dan radio ditutup agar seseorang tidak
menonton dan mendengarkan pemberitaan agama lain. Jadi, kedewasaan dalam
beragama mesti mendapat tempat dalam perilaku seseorang Indonesia.[6] Pendapat
yewangeo diatas, hendak mengungkapkan bahwa hal pindah agama secara khusus
dalam konteks negara indonesia harusnya di pandang wajar karna pindah agama
merupakan murni hasil pengahayatan seseorang terhadap suatu agama yang
dianggapnya mendatangkan kedamaian bagi dirinya.
[1] Stphan B.
Bevans, Model-model teologi kontekstual,
maumere, Ledalero, 2013, hal 131-132
[2] Ibid, hal 132
[3] Hendro Puspito,
Sosiologi Agama (Yogyakarta:kanisius
1983) hal 78
[4] Ibid,hal 79
[5]Hajdana, A.M, penghayatan agama yang otentik dan yang
tidak otentik, kanisius, Yogyakarta, 1993, hal.14
[6] Andreas.A.Yewangoe,Tidak Ada Penumpang Gelap; Wargagereja,
Warga Bangsa, BPK, Jakarta,2009, Hal 52
0 comments:
Post a Comment