TAFSIRAN INJIL MATIUS
19:1-12
PERCERAIAN
A.
Pendahuluan
Dari semua kitab
Inji tidak ada satupun yang menyebutkan penulisnya. Jika kita menemuiAlkitab
yang menulis nama, nama itu ditambahkan oleh penerjemah Alkitab. Meskipun Injil
Matius tidak menyebutkan secara langsung penulisnya, kita tidak dapat meragukan
bahwa Injil ini ditulis oleh Matius, salah seorang murid Yesus yang disebut
dalam Matius 9:9, anak Alpius, pemungut cukai, dan disebut juga lewi.[1]
Kalimat pertama
dalam Injil Matius menjelaskan tujuan penulis. Inilah silsilah Yesus Kristus,
Anak Daud, Anak Abraham (Mat. 1:1). Matius ingin menunjukkan bahwa Yesus adalah
Mesias yang dijanjikan dalam Perjanjian Lama. Karena itu, ia menyebutnya
sebagai Anak Daud dan Anak Abraham. Matius menekankan bahwa orang Yahudi tak
perlu lagi menantikan kedatangan Mesias yang melepaskan mereka dari kesesakan
karena mesias telah hadir dalam diri Yesus. Yesus menggenapi segala janji
Allah. Itu sebabnya, seluruh Injil Matius menitik beratkan pada kegenapan
Perjanjian Lama tentang diri Yesus Kristus (2:17-18; 3:15; 4:14; 5:17).[2]
Injil Matius
ditulis dalam bahasa Ibrani, maka jelaslah bahwa Injil Matius dialamatkan
kepada orang Ibrani. Dalam Matius 24:15 menyebut kejatuhan Yerusalem tetapi
dalam bentuk nubuat, dan dalam Injil ini tidak ada satupun ayat yang
menunjukkan bahwa Injil ini ditulis sebelum kejatuhan Yerusalem pada 70 Masehi,
dam tidak mungkin ditulis sesudah tahun itu. Mengenai tempat penulisannya tidak
dapat dipastikan. Kita hanya memiliki informasi bahwa injil ini banyak
digunakan oleh Jemaat Siria yang anggotanya kebanyakan adalah orang Yahudi. Di
antara Jemaat-jemaat Siria, jemaat Antokia-Siria yang paling berpengaruh maka
banyak sarjana yang berpendapat bahwa Injil Matius ditulis di Antokia.[3]
B.
TAFSIRAN
MATIUS 19:1-12 “PERCERAIAN”
Ayat 1 dan 2. Injil
Matius selalu dipergunakan istilah “setelah Yesus selesai” apabila suatu kesatuan
yang besar sudah selesai (misalnya “Khotbah di Bukit”, pasal 5-7; Pengutusan
rasul-rasul, pasal 10); menjadi jelaslah bahwa Matius 18 dimaksudkan sebagai
kesatuan (rentetan peraturan tentang hidup bersama-sama di jemaat). Yesus tiba
di daerah Yudea seberang sungai Yordan. Berarti Perea, Perea itu berada di
bawah pemerintahan raja Herodes Antipas; penduduknya waktu itu adalah orang
Yahudi.[4] Orang
banyak datang berbondong-bondong kepada Yesus dan Yesus menyembuhkan orang
banyak di Perea.
Ayat 3-6. Lalu datang juga
orang-orang Farisi untuk mencobai Dia. Pokok persoalan yang mereka bawa kepada
Yesus adalah mengenai perceraian. “Apakah seorang laki-laki boleh menceraikan
isterinya dengan alasan apa saja?” (bdn. Mk. 10,2). Matius mmenambahkan unsur dengan alasan apa saja. Tambahan unsur dengan alasan apa saja ini menampakkan
adanya perbedaan pandangan antara dua kelompok.[5]
Pada
zaman itu terdapat pengikut-pengikut rabi Syammai yang berpendirian bahwa
seorang laki-laki hanya boleh menceraikan istrinya apa bila istri itu berbuat
zinah. Sebaliknya ada pengikut-pengikut rabi Hillel yang berpendapat bahwa
suami boleh menceraikan istrinya apabila tidak senang lagi dengan istrinya itu.[6]
Namun
Yesus tidak melayani perdebatan itu. Ia tidak masuk ke dalam perdebatan antara
dua kelompok itu. Yesus justru menampilkan prinsip pandangan-Nya mengenai
perkawinan. Allah menciptakan manusia sejak semula menjadi laki-laki dan
perempuan. Laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan
istrinya sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Mereka bukan lagi dua
melainkan satu (Kej. 1:27; 2:24).[7] Ia
memaparkan bahwa di Kejadian 2:24 nikah itu dilukiskan sebagai suatu ikatan
yang amat kuat, jauh lebih kuat dari pada ikatan keluarga. Bahkan menurut Kejadian 2:24 suami istri “menjadi satu
daging” mempunyai arti yang lebih luas daripada hubungan seksual; “menjadi satu
daging” berarti menjadi satu kesatuan, yang hampir disebut satu orang saja.[8] Di
sini Yesus menyimpulkan atau Yesus memberikan penagasan bahwa perceraian itu
adalah suatu perbuatan yang salah atau suatu hal yang tidak diperbolehkan
karena apa yang telah dipersatukan oleh Tuhan tidak dapat diceraikan atau tidak
boleh dibagi dua oleh perceraiaan nikah, oleh siapa pun dan alasan apapun.
Ayat 7-9. Kata-kata Yesus
nampaknya melarang sama sekali perceraian. Dan nampaknya ini adalah serangan
terhadaphukum Taurat (Ul. 24:1-4).[9]
Ternyata melalui jawaban Yesus, orang-orang Farisi tidak puas atas jawaban
Yesus sehingga mereka kemabali mencobai Yesus. Di sinilah muncul kembali
persoalan baru mereka berkata kepada Yesus dengan mengutip Ulangan 24:1-4, di
mana Musa memberikan surat cerai jika orang menceraikan istrinya. Apakah Yesus
akan mempersalahkan Musa?
Di
dalam jawaban-Nya (ayat 8) Yesus tidak mempersalahkan Musa, tetapi Ia
mempersalahkan orang-orang Israel yang tegar hatinya.oleh sebab ketegaran hati
itu Musa mengatur surat cerai, supaya jangan ada kekacauaan secara penuh, dan
supata istri jangan diusir begitu saja. Dalam hal ini surat cerai itu sedeikit
melindungi wanita. Tetapi dalam ayat 8b Yesus tetap mempertahankan bahwa maksud
Tuhan sejak semula adalah supaya hubungan dalam nikah berjalan terus
sebagaimana dalam ayat 4-6.[10]
Apa
yang dimaksud dengan ketegaran hati di sini? Pada prinsipnya, apa yang
dinyatakan di dalam Kitab Kejadian sebagaimana dikutip oleh Yesus merupakan
prinsip yang berlaku bagi umat Israe, dalam kenyataannya, orang-orang Israel
mempunyai praktik menceraikan istrinya. Ketika seorang wanita diceraikan oleh
suaminya, secara yuridis ia tetap menjadi milik mantan suaminya. Ia bukanlah
wanita yang bebas. Ia masi terikat dengan ikatan perkawinan dengan mantan suaminya.
Oleh karena itu, ia tidak bisa menikah lagi. Kalu ia menikah lagi, ia akan
dianggap berzinah. Hukum untuk orang pezinah tidak main-main karena ia akan
dihukum mati.[11]
Melihat
tradisi atau praktik ini, Musa meminta agar mereka yang menceraikan istrinya
memberikan surat cerai kepada mantan istrinya tersebut. Hal ini dulakukan
supaya setelah selesai perceraiaan tersebut sang istri berada dalam status
bebas. Dengan demikian, ia dapat menikah lagi dan tidak dianggap berzinah. Demi
keselamatan wanita yang diceraikan inilah, Musa menetapkan ketetapan seperti
itu. Maka Musa menetapkan itu karena ketegaran hati orang-orang Israel yang
menceraikan istri mereka.[12]
Tetapi kalaupun Musa memperbolehkan seorang suami untuk menceraikan istrinya
dengan catatan bahwa ia harus memberikan surat cerai, namun Yesus justru tidak
berpendapat demikian. Yesus menyatakan pernyataan-Nya “ Tetapi Aku berkata
kepadamu: Barang siapa yang menceraikan istrinya, kecuali karena zinah (porneia=hubungan seks dengan orang yang
bukan pasangan suami istri), lalu
kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah (moichasthai)” pada prinsipnya apa yang telah dipersatukan oleh
Tuhan tidak boleh diceraikan oleh manusia. Proneia
menunjuk pada perkawinan yang melanggar hukum terutama hukum ikatan darah.[13]
Dalam
ayat 9 yesus menegaskan bahwa seorang laki-laki yang menceraikan istrinya, lalu
kawin dengan perempuan lain, berbuat zinah dan melawan hukum yang kesepuluh
dari hukum itu. Hanya kalau istri berzinah, maka suami boleh menceraikannya.[14]
Namun perlu juga di tegaskan di sini bahwa Yesus tidak mengatakan bahwa jika
istri berzinah harus diceraikan; selalu baik kalau seorang suami yang istrinya
jatuh ke dalam dosa memeriksa diri apakah mungkin ia turut bersalah, sebab
telah kurang menjaga hubungan yang baik dengan istrinya.
Namun
perlu juga ditekankan bahwa Musa tidak memerintahkan perceraiaan. Paling tidak
ia hanya mengizinkan demi mengatur suatu situasi yang dapat berubah menjadi
kekacauaan. Memang Musa mengizinkan perceraiaan, tetapi itu adalah konsesi dari
sudut pandang cita-cita yang telah hilang. Perkawinan yang dicita-citakan
terdapat dalam persatuan Adam dan Hawa yang sempurna dan tidak dapat
dipisahkan. Itulah yang dimaksudkan Allah dengan perkawinan.[15]
Dengan kata lain Musa memberikan kemungkinan itu justru karena ketegaran hati
mereka.
Istilah
orang Yahudi untuk perkawinan ialah kiddusyin.
Kiddusyin artinya sanktifikasi atau
pengudusan. Kata ini dipakai untuk menjelaskan sesuatu yang dipersembahkan
kepada Allah sebagai milik-Nya yang eksklusif dan istimewa. Semua yang
dipersembahkan kepada Allah secara total ialah kiddusyin. Artinya, dalam perkawinan suami dikuduskan untuk
istrinya, dan istri dikuduskan untuk suaminya. Inilah yang dimaksudkan oleh
Yesus ketika Ia berkata bahwa demi perkawinan, seorang laki-laki akan
meninggalkan ayah dan ibunya, dan bersatu dengan istrinya. Inilah yang Ia
maksudkan ketika berkata bahwa suami dan istri menjadi satu secara keseluruhan
sehingga mereka dapat disebut sebagai satu daging. Jadi idealnya adalah suatu
perkawinan di mana dua orang saling melengkapi.[16]
Ayat 10-12. Kedua
belas murid Yesus selalu melihat
bahwa orang-orang Israel selalu mempraktekkan perceraian kalau ada banyak
ketegangan dalam nikah. Oleh karena itu para murid mengatakan “Kalau begitu
halnya hubungan antara suami dan istri lebih baik jangan menikah jiakalau Yesus
melarang jalan keluar itu”. Yesus tidak mengatakan ya dan tidak juga mengatakan
tidak atas tanggapan para murid. Ia justru menjawab dengan cara memperlihatkan
beberapa kasus tentang orang yang tidak menikah. Ada yang tidak kawin karena
memang lahir demikian dari rahim ibunya. Ada yang tidak kawin karena dijadikan
demikian oleh orang lain. Sepertinya kasus ini adalah kasus orang-orang yang
dikebiri dan pelayan-pelayan di Istana. Ada juga orang yang tidak menikah
karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Allah. Siap mereka ini? Mungkin
adalah mereka yang diceraikan dan tetap hidup tanpa perkawinan, atau mereka
yang tidak memilih kawin agar mampu menyediakan hidup seutuhnya bagi pewartaan
Injil.[17]
Ajaran
Yesus lebih dalam dari pada ajaran para rabi Yahudi. Menurut ajaran para rabi,
setiap laki-laki wajib menikah. Yesus menganggap nikah sebagai hal yang suci,
tetapi dengan serentak Ia mengatakan bahwa ada orang yang dalam situasi
tertentu merasa tidak terpanggil untuk menikah demi Kerajaan Tuhan. Tetapi
panggilan ini dapat dimengerti serta dijalankan hanyalah oleh orang yang
mempunyai pengertian tentang Kerajaan Allah dan tentang tugas kita di dalamnya.[18]
C.
Kesimpulan
Maka
di sini dapat ditarik kesimpulan bahwa pernikahan adalah suatu hal yang sakral
yang bersifat suci atau kudus yang harus dipertahankan dan tidak boleh dinodai
oleh hubungan seksual yang bukan pasangan suami istri karena itu pernikahan
Kristen hendaknya bersifat monogami, sehingga perceraian itu tidak
diperbolehkan atau suatu tindakan yang salah. Dan perlu diingat bahwa manusia
tidak boleh meruntuhkan pekerjaan Allah.
[1] Yusak B. Hermawan, My New Testament, (Yogyakarta: ANDI,
2010), hlm. 37.
[2] Ibid, hlm. 39.
[3] Ibid, hlm. 40.
[4] J..J. de Heer, Tafsiran Alkitab Injil Matius Pasal 1-22, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia), hlm. 374.
[5] St. Eko Riyadi, Pr., Matius “Sungguh, Ia ini adalah Anak Allah!”,
(Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 172.
[6] .J.J de Heer, Tafsiran Alkitab Injil Matius Pasal 1-22, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia), hlm. 374.
[7] St. Eko Riyadi, Pr., Matius “Sungguh, Ia ini adalah Anak Allah!”,
(Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 172.
[8] J.J. de Heer, Tafsiran Alkitab Injil Matius Pasal 1-22, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia), hlm.375
[9] Tafsiran Alkitab Masa Kini, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina
Kasih, 2012), hlm. 103.
[10] J.J. de Heer, Tafsiran Alkitab Injil Matius Pasal 1-22, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia), hlm.376.
[11] St. Eko Riyadi, Pr., Matius “Sungguh, Ia ini adalah Anak Allah!”,
(Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 173.
[12] Ibid.
[13] Ibid, hlm 175.
[14] J.J. de Heer, Tafsiran Alkitab Injil Matius Pasal 1-22, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia), hlm.376.
[15] William Barclay, Pemahaman Alkitab setiap Hari: Injil Matius
Pasal 11-28, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), hlm. 318-319.
[16] Ibid, hlm. 321.
[17] St. Eko Riyadi, Pr., Matius “Sungguh, Ia ini adalah Anak Allah!”,
(Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 176.
[18] J.J. de Heer, Tafsiran Alkitab Injil Matius Pasal 1-22, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia), hlm. 378.
0 comments:
Post a Comment