Wednesday, September 12, 2018

Tafsiran Injil Matius 19:1-12



TAFSIRAN INJIL MATIUS 19:1-12
PERCERAIAN

A.           Pendahuluan
Dari semua kitab Inji tidak ada satupun yang menyebutkan penulisnya. Jika kita menemuiAlkitab yang menulis nama, nama itu ditambahkan oleh penerjemah Alkitab. Meskipun Injil Matius tidak menyebutkan secara langsung penulisnya, kita tidak dapat meragukan bahwa Injil ini ditulis oleh Matius, salah seorang murid Yesus yang disebut dalam Matius 9:9, anak Alpius, pemungut cukai, dan disebut juga lewi.[1]
Kalimat pertama dalam Injil Matius menjelaskan tujuan penulis. Inilah silsilah Yesus Kristus, Anak Daud, Anak Abraham (Mat. 1:1). Matius ingin menunjukkan bahwa Yesus adalah Mesias yang dijanjikan dalam Perjanjian Lama. Karena itu, ia menyebutnya sebagai Anak Daud dan Anak Abraham. Matius menekankan bahwa orang Yahudi tak perlu lagi menantikan kedatangan Mesias yang melepaskan mereka dari kesesakan karena mesias telah hadir dalam diri Yesus. Yesus menggenapi segala janji Allah. Itu sebabnya, seluruh Injil Matius menitik beratkan pada kegenapan Perjanjian Lama tentang diri Yesus Kristus (2:17-18; 3:15; 4:14; 5:17).[2]
Injil Matius ditulis dalam bahasa Ibrani, maka jelaslah bahwa Injil Matius dialamatkan kepada orang Ibrani. Dalam Matius 24:15 menyebut kejatuhan Yerusalem tetapi dalam bentuk nubuat, dan dalam Injil ini tidak ada satupun ayat yang menunjukkan bahwa Injil ini ditulis sebelum kejatuhan Yerusalem pada 70 Masehi, dam tidak mungkin ditulis sesudah tahun itu. Mengenai tempat penulisannya tidak dapat dipastikan. Kita hanya memiliki informasi bahwa injil ini banyak digunakan oleh Jemaat Siria yang anggotanya kebanyakan adalah orang Yahudi. Di antara Jemaat-jemaat Siria, jemaat Antokia-Siria yang paling berpengaruh maka banyak sarjana yang berpendapat bahwa Injil Matius ditulis di Antokia.[3]
B.            TAFSIRAN MATIUS 19:1-12 “PERCERAIAN”
Ayat 1 dan 2. Injil Matius selalu dipergunakan istilah “setelah Yesus selesai” apabila suatu kesatuan yang besar sudah selesai (misalnya “Khotbah di Bukit”, pasal 5-7; Pengutusan rasul-rasul, pasal 10); menjadi jelaslah bahwa Matius 18 dimaksudkan sebagai kesatuan (rentetan peraturan tentang hidup bersama-sama di jemaat). Yesus tiba di daerah Yudea seberang sungai Yordan. Berarti Perea, Perea itu berada di bawah pemerintahan raja Herodes Antipas; penduduknya waktu itu adalah orang Yahudi.[4] Orang banyak datang berbondong-bondong kepada Yesus dan Yesus menyembuhkan orang banyak di Perea.
Ayat 3-6. Lalu datang juga orang-orang Farisi untuk mencobai Dia. Pokok persoalan yang mereka bawa kepada Yesus adalah mengenai perceraian. “Apakah seorang laki-laki boleh menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?” (bdn. Mk. 10,2). Matius mmenambahkan unsur dengan alasan apa saja. Tambahan unsur dengan alasan apa saja ini menampakkan adanya perbedaan pandangan antara dua kelompok.[5]
Pada zaman itu terdapat pengikut-pengikut rabi Syammai yang berpendirian bahwa seorang laki-laki hanya boleh menceraikan istrinya apa bila istri itu berbuat zinah. Sebaliknya ada pengikut-pengikut rabi Hillel yang berpendapat bahwa suami boleh menceraikan istrinya apabila tidak senang lagi dengan istrinya itu.[6]
Namun Yesus tidak melayani perdebatan itu. Ia tidak masuk ke dalam perdebatan antara dua kelompok itu. Yesus justru menampilkan prinsip pandangan-Nya mengenai perkawinan. Allah menciptakan manusia sejak semula menjadi laki-laki dan perempuan. Laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Mereka bukan lagi dua melainkan satu (Kej. 1:27; 2:24).[7] Ia memaparkan bahwa di Kejadian 2:24 nikah itu dilukiskan sebagai suatu ikatan yang amat kuat, jauh lebih kuat dari pada ikatan keluarga. Bahkan menurut  Kejadian 2:24 suami istri “menjadi satu daging” mempunyai arti yang lebih luas daripada hubungan seksual; “menjadi satu daging” berarti menjadi satu kesatuan, yang hampir disebut satu orang saja.[8] Di sini Yesus menyimpulkan atau Yesus memberikan penagasan bahwa perceraian itu adalah suatu perbuatan yang salah atau suatu hal yang tidak diperbolehkan karena apa yang telah dipersatukan oleh Tuhan tidak dapat diceraikan atau tidak boleh dibagi dua oleh perceraiaan nikah, oleh siapa pun dan alasan apapun.
Ayat 7-9. Kata-kata Yesus nampaknya melarang sama sekali perceraian. Dan nampaknya ini adalah serangan terhadaphukum Taurat (Ul. 24:1-4).[9] Ternyata melalui jawaban Yesus, orang-orang Farisi tidak puas atas jawaban Yesus sehingga mereka kemabali mencobai Yesus. Di sinilah muncul kembali persoalan baru mereka berkata kepada Yesus dengan mengutip Ulangan 24:1-4, di mana Musa memberikan surat cerai jika orang menceraikan istrinya. Apakah Yesus akan mempersalahkan Musa?
Di dalam jawaban-Nya (ayat 8) Yesus tidak mempersalahkan Musa, tetapi Ia mempersalahkan orang-orang Israel yang tegar hatinya.oleh sebab ketegaran hati itu Musa mengatur surat cerai, supaya jangan ada kekacauaan secara penuh, dan supata istri jangan diusir begitu saja. Dalam hal ini surat cerai itu sedeikit melindungi wanita. Tetapi dalam ayat 8b Yesus tetap mempertahankan bahwa maksud Tuhan sejak semula adalah supaya hubungan dalam nikah berjalan terus sebagaimana dalam ayat 4-6.[10]
Apa yang dimaksud dengan ketegaran hati di sini? Pada prinsipnya, apa yang dinyatakan di dalam Kitab Kejadian sebagaimana dikutip oleh Yesus merupakan prinsip yang berlaku bagi umat Israe, dalam kenyataannya, orang-orang Israel mempunyai praktik menceraikan istrinya. Ketika seorang wanita diceraikan oleh suaminya, secara yuridis ia tetap menjadi milik mantan suaminya. Ia bukanlah wanita yang bebas. Ia masi terikat dengan ikatan perkawinan dengan mantan suaminya. Oleh karena itu, ia tidak bisa menikah lagi. Kalu ia menikah lagi, ia akan dianggap berzinah. Hukum untuk orang pezinah tidak main-main karena ia akan dihukum mati.[11]
Melihat tradisi atau praktik ini, Musa meminta agar mereka yang menceraikan istrinya memberikan surat cerai kepada mantan istrinya tersebut. Hal ini dulakukan supaya setelah selesai perceraiaan tersebut sang istri berada dalam status bebas. Dengan demikian, ia dapat menikah lagi dan tidak dianggap berzinah. Demi keselamatan wanita yang diceraikan inilah, Musa menetapkan ketetapan seperti itu. Maka Musa menetapkan itu karena ketegaran hati orang-orang Israel yang menceraikan istri mereka.[12] Tetapi kalaupun Musa memperbolehkan seorang suami untuk menceraikan istrinya dengan catatan bahwa ia harus memberikan surat cerai, namun Yesus justru tidak berpendapat demikian. Yesus menyatakan pernyataan-Nya “ Tetapi Aku berkata kepadamu: Barang siapa yang menceraikan istrinya, kecuali karena zinah (porneia=hubungan seks dengan orang yang bukan pasangan suami istri), lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah (moichasthai)” pada prinsipnya apa yang telah dipersatukan oleh Tuhan tidak boleh diceraikan oleh manusia. Proneia menunjuk pada perkawinan yang melanggar hukum terutama hukum ikatan darah.[13]
Dalam ayat 9 yesus menegaskan bahwa seorang laki-laki yang menceraikan istrinya, lalu kawin dengan perempuan lain, berbuat zinah dan melawan hukum yang kesepuluh dari hukum itu. Hanya kalau istri berzinah, maka suami boleh menceraikannya.[14] Namun perlu juga di tegaskan di sini bahwa Yesus tidak mengatakan bahwa jika istri berzinah harus diceraikan; selalu baik kalau seorang suami yang istrinya jatuh ke dalam dosa memeriksa diri apakah mungkin ia turut bersalah, sebab telah kurang menjaga hubungan yang baik dengan istrinya.
Namun perlu juga ditekankan bahwa Musa tidak memerintahkan perceraiaan. Paling tidak ia hanya mengizinkan demi mengatur suatu situasi yang dapat berubah menjadi kekacauaan. Memang Musa mengizinkan perceraiaan, tetapi itu adalah konsesi dari sudut pandang cita-cita yang telah hilang. Perkawinan yang dicita-citakan terdapat dalam persatuan Adam dan Hawa yang sempurna dan tidak dapat dipisahkan. Itulah yang dimaksudkan Allah dengan perkawinan.[15] Dengan kata lain Musa memberikan kemungkinan itu justru karena ketegaran hati mereka.
Istilah orang Yahudi untuk perkawinan ialah kiddusyin. Kiddusyin artinya sanktifikasi atau pengudusan. Kata ini dipakai untuk menjelaskan sesuatu yang dipersembahkan kepada Allah sebagai milik-Nya yang eksklusif dan istimewa. Semua yang dipersembahkan kepada Allah secara total ialah kiddusyin. Artinya, dalam perkawinan suami dikuduskan untuk istrinya, dan istri dikuduskan untuk suaminya. Inilah yang dimaksudkan oleh Yesus ketika Ia berkata bahwa demi perkawinan, seorang laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya, dan bersatu dengan istrinya. Inilah yang Ia maksudkan ketika berkata bahwa suami dan istri menjadi satu secara keseluruhan sehingga mereka dapat disebut sebagai satu daging. Jadi idealnya adalah suatu perkawinan di mana dua orang saling melengkapi.[16]
Ayat 10-12. Kedua belas murid Yesus selalu melihat bahwa orang-orang Israel selalu mempraktekkan perceraian kalau ada banyak ketegangan dalam nikah. Oleh karena itu para murid mengatakan “Kalau begitu halnya hubungan antara suami dan istri lebih baik jangan menikah jiakalau Yesus melarang jalan keluar itu”. Yesus tidak mengatakan ya dan tidak juga mengatakan tidak atas tanggapan para murid. Ia justru menjawab dengan cara memperlihatkan beberapa kasus tentang orang yang tidak menikah. Ada yang tidak kawin karena memang lahir demikian dari rahim ibunya. Ada yang tidak kawin karena dijadikan demikian oleh orang lain. Sepertinya kasus ini adalah kasus orang-orang yang dikebiri dan pelayan-pelayan di Istana. Ada juga orang yang tidak menikah karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Allah. Siap mereka ini? Mungkin adalah mereka yang diceraikan dan tetap hidup tanpa perkawinan, atau mereka yang tidak memilih kawin agar mampu menyediakan hidup seutuhnya bagi pewartaan Injil.[17]
Ajaran Yesus lebih dalam dari pada ajaran para rabi Yahudi. Menurut ajaran para rabi, setiap laki-laki wajib menikah. Yesus menganggap nikah sebagai hal yang suci, tetapi dengan serentak Ia mengatakan bahwa ada orang yang dalam situasi tertentu merasa tidak terpanggil untuk menikah demi Kerajaan Tuhan. Tetapi panggilan ini dapat dimengerti serta dijalankan hanyalah oleh orang yang mempunyai pengertian tentang Kerajaan Allah dan tentang tugas kita di dalamnya.[18]
C.           Kesimpulan
Maka di sini dapat ditarik kesimpulan bahwa pernikahan adalah suatu hal yang sakral yang bersifat suci atau kudus yang harus dipertahankan dan tidak boleh dinodai oleh hubungan seksual yang bukan pasangan suami istri karena itu pernikahan Kristen hendaknya bersifat monogami, sehingga perceraian itu tidak diperbolehkan atau suatu tindakan yang salah. Dan perlu diingat bahwa manusia tidak boleh meruntuhkan pekerjaan Allah.


[1] Yusak B. Hermawan, My New Testament, (Yogyakarta: ANDI, 2010), hlm. 37.

[2] Ibid, hlm. 39.
[3] Ibid, hlm. 40.

[4] J..J. de Heer, Tafsiran Alkitab Injil Matius Pasal 1-22, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), hlm. 374.
[5] St. Eko Riyadi, Pr., Matius “Sungguh, Ia ini adalah Anak Allah!”, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 172.

[6] .J.J de Heer, Tafsiran Alkitab Injil Matius Pasal 1-22, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), hlm. 374.

[7] St. Eko Riyadi, Pr., Matius “Sungguh, Ia ini adalah Anak Allah!”, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 172.
                                                                                                                            
[8] J.J. de Heer, Tafsiran Alkitab Injil Matius Pasal 1-22, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), hlm.375
[9] Tafsiran Alkitab Masa Kini, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2012), hlm. 103.

[10] J.J. de Heer, Tafsiran Alkitab Injil Matius Pasal 1-22, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), hlm.376.

[11] St. Eko Riyadi, Pr., Matius “Sungguh, Ia ini adalah Anak Allah!”, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 173.

[12] Ibid.

[13] Ibid, hlm 175.                     
[14] J.J. de Heer, Tafsiran Alkitab Injil Matius Pasal 1-22, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), hlm.376.

[15] William Barclay, Pemahaman Alkitab setiap Hari: Injil Matius Pasal 11-28, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), hlm. 318-319.

[16] Ibid, hlm. 321.                                                                    

[17] St. Eko Riyadi, Pr., Matius “Sungguh, Ia ini adalah Anak Allah!”, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), hlm. 176.

[18] J.J. de Heer, Tafsiran Alkitab Injil Matius Pasal 1-22, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), hlm. 378.

0 comments:

Post a Comment