Tafsiran Kitab
Mazmur 1:1-6
A.
Gambaran
Umum Kitab
Dalam
bahasa Ibrani ada kata mizmor yang
artinya “sebuah nyanyian yang dinyanyikan dengan iringan musik”, namun judul
kitab Mazmur dalam bahasa Ibrani adalah tehillim
artinya “puji-pujian” atau “nyanyian pujian”. Mazmur 1 adalah mazmur
pertama dalam bagian pertama dalam Kitab Mazmur di Alkitab Ibrani atau
Perjanjian Lama dalam Alkitab Kristen. Para rabi menempatkannya sebelum Kitab
Amsal dan tulisan hikmat lainnya, dengan alasan bahwa kumpulan tulisan Daud
harus mendahului tulisan anaknya, Salomo. [1]
Kitab
Mazmur ditulis oleh Daud dan orang lain seperti Bani Korah, Asaf, bahkan ada
penulis tanpa nama. Namun untuk Kitab Mazmur pasal 1 penulis terutama adalah
Daud. Dimana Sebagian besar dari Kitab Mazmur ditulis pada abad ke-10 SM semasa
zaman keemasan puisi Israel.[2] Dengan
adanya berbagai pengarang maka tempat penulisan pun di berbagai tempat.[3] Dengan
demikian sangatlah jelas bahwa Daud yang mengarang sebagian besar kitab Mazmur,
namun ia bukanlah penulis semua Kitab Mazmur.Kitab Mazmur telah ditulis oleh
berbagai pengarang dalam tenggang waktu ribuan tahun dalam sejarah Israel.
Pada
mulanya Kitab Mazmur ini ditujukan kepada bangsa Israel.[4] Tujuan
penulisan Kitab Mazmur adalah ditulis dan ditujukan kepada orang saleh dan
bukannya orang berdosa. Kitab Mazmur berisi nyanyian-nyanyian orang yang
ditebus dan tidak berisi berita untuk orang yang tidak percaya.[5]
Puisi
ini (Mzm. 1) ini digolongkan ke dalam Mazmur kebijaksanaan karena melukiskan,
dan secara dramatis memperlawankan “dua jalan”, suatu pandangan fundamental
dari manusia. Cara bicara Ibrani sering memandang pandangan hidup moral sebagai
tindakan, dan melukiskannya dengan menyebutkan tindakan-tindakan khas dan
akibat-akibatnya. Mazmur membagikan manusia dalam dua kelompok: mereka yang
taat kepada kehendak Tuhan dalam ayat 1-3 dan orang yang tidak taat dalam ayat
4-5.[6]
B.
Tafsiran
Teks
Ayat 1: Nyanyian
kebijaksaan ini dibuka dengan seruan “berbahagialah (orang)” di mana seruan ini
termasuk bahasa orang bijak/bijaksana. Berbahagia adalah suatu seruan
kegembiraan, pujian, ajakan, dan harapan. Isinya dapat bermacam-macam, namun
selalu tentang hubungan manusia (atau jemaah) dengan Tuhan.[7] Si
pemazmur memulai dengan sifat dan keadaan orang saleh, supaya orang-orang saleh
inilah yang pertama-tama boleh mendapat penghiburan yang menjadi milik mereka.[8] Ada
tiga perbuatan “negatif” yang membuat orang berbahagia:
1.
“Tidak menuruti (=harf “tidak berjalan menurut”) nasihat
orang fasik”. Kata “orang fasik” (rasa) sangat banyak dijumpai dalam mazmur dan
kitab-kitab kebijaksanaan (dari 263 kali penggunaannya: 82 dalam Mazmur; 26
dalam Ayab; 78 dalam Amsal; 7 dalam Pengkhotbah). Kata ini kerap dijumpai
sejajar dengan “orang benar” (saddiq)
sebagai lawan katanya. Dalam ayat ini kata “orang fasik” terdapat sejajar
dengan “orang bedosa” (1:5; 104:35) dan
“pencemooh” (lihat pula Ams. 9:7). Sehingga berbahagialah orang yang tidak menuruti
nasihat-nasihat untuk berbuat jahat.[9]
Orang fasik sangat bersemangat
memberikan nasihat mereka melawan agama, dan semua itu diatur dengan sangat
terampil, sehingga bila kita terhindar dari noda dan jeratnya, bolehlah kita
merasa lega dan berbahagia.
2.
“Yang tidak berdiri di
jalan orang berdosa” artinya, tidak mengikuti teladan orang berdosa. Kata
“orang berdosa” kemungkinan digunakan untuk menunjukkan orang yang berkanjang
dalam dosa. Dalam bahasa Ibrani kata kerja untuk kata “berdosa” sama dengan
“meleset”, “tidak kena sasaran” (Hak. 20:16 dan “salah langkah”; Ams. 19:2).[10]
Matthew Henry menjelaskan bahwa orang yang tidak berdiri di jalan orang fasik,
ia tidak akan masuk ke dalam jalan itu, apalagi terus berjalan di dalamnya,
seperti yang dilakukan orang berdosa, yang memperlihatkan dirinya di jalan yang
tidak baik (36:5) tetapi menjaga dirinya sejauh mungkin dari mereka karena
barang siapa yang ingin terhindar dari bahaya harus terhindar dari jalan
bahaya.[11]
3.
“Tidak duduk dalam
kumpulan pencemooh”, artinya, bersekutu atau ambil bagian dalam kumpulan
percakapan orang yang sombong yang menertawakan Allah dan jalannya (73:9-11;
Yes. 28:15; 29:20) serta menganggap remeh hukum (Ams. 19:28) dan kebijaksanaan.
Jadi
yang menjadi inti dari ketiga perbuatan ini ialah menjauhi pergaulan dengan
orang-orang fasik atau menolak pencobaan-pencobaan untuk mengikuti cara hidup
mereka.
Ayat 2: Inti
pernyataan “berbahagialah orang sebenarnya jika itu diperhatikan maka itu
terletak pada ayat 2, sedang ayat 1 lebih bersifat menonjolkan kebenaran yang
dikatakan dalam ayat 2 ini. Yang berbahagia adalah “orang yang kesukaannya
ialah Turat Tuhan dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam”. “kesukaan” adalah
suatu kata yang menunjukkan perasaan cinta dan rindu kepada seseorang (Kej.
34:9); 1 Sam. 19:1) atau sesuatu, baik secara konkrit (Yes. 13:17) maupun
secara abstrak (Est. 6:6-7). Sangat menarik karena di sini pemazmur menggunakan
kata “kesukaan”. Berbahagialah orang yang kesukaannya ialah “Taurat Tuhan”
(bdn. 119:1-2). Taurat aslinya berarti pengajaran, entah itu dari bijak dan
orang tua tentang kebijaksanaan hidup atau dari para imam tentang kualitas
ibadat. Taurat Tuhan juga dapat berarti keseluruhan penyataan kehendak Tuhan
yang sudah tertulis atau dibukukan singkatnya Kitab Suci yang dapat dibacakan
(Ul. 31:9-11) atau dibaca (Yos. 1: 7-8). [12]
Orang
yang diberkati Allah bukan hanya berbalik dari kejahatan, tetapi juga membangun
hidup mereka di sekitar Firman Tuhan. Mereka berusaha untuk menaati kehendak
Allah dari hati yang sungguh-sungguh senang akan jalan dan perintah Allah (lih.
2 Tes. 2:10, di mana dikatakan bahwa orang fasik binasa karena “tidak menerima
dan mengasihi kebenaran”).[13]
Kesukaan
akan Taurat Tuhan itu dibuktikan dengan “merenungkan Taurat itu siang dan
malam”. Aslinya merenungkan sebenarnya “mendaraskan” atau “mengaji”, artinya
membacakan untuk diri sendiri dengan suara halus (bnd. Yos. 1:7-8; Mzm. 35:28).
Hal itu dilakukan “siang dan malam”, artinya secara terus menerus (bnd. Ul.
6:4-7). Kesukaan yang lahir dari cinta mendorong suatu keakraban antara yang
mencintai dan dicintai.[14]
Matthew Henry berpendapat bahwa merenungkan Firman Allah berarti bercakap-cakap
dengan diri kita sendiri, mengenai perkara-perkara besar yang terkandung di
dalamnya, dengan niat ingin menerapkannya dalam kehidupan kita, dengan pikiran
yang teguh, sampai perkara-perkara itu meresap benar dalam diri kita dan hingga
kita mencium aroma serta mengalami kuasanya di dalam hati kita. Hal ini harus
dilakukan siang dan malam. Kita harus memilikinya di dalam pikiran kita, apa
pun yang terjadi, entah malam atau siang. Tidak ada waktu yang salah untuk
merenungkan Firman Allah, dan tidak ada waktu yang tidak tepat untuk melakukannya.[15] Maka
dalam ayat ini dapat kita melihat bahwa orang yang menyukai dan mencintai
Taurat Tuhan atau Firman Allah dan
selalu merenungkan dan melakukannya
dengan tidak dibatasi dengan waktu, maka orang inilah yang dikatakan
berbahagia.
Ayat 3: Ayat
ini menjelaskan dalam bahasa gambaran, mengapa orang yang dilukiskan dalam ayat
1-2 disebut berbahagia. Kebahagiaan di sini digambarkan melalui sebuah
perumpamaan : ia seperti pohon yang
ditanam didekat aliran air. Kita perlu mengetahui bahwa iklim di Palestina
sangat panas dan kering maka dari itu karena ditanam di dekat aliran air maka
ia akan berbuah menurut musimnya.[16]
Maksud dari berbuah pada musimnya di sini ialah bahwa mereka menjadikan musim
itu paling indah dan paling berguna, dengan memamfaatkan setiap kesempatan
intuk berbuat baik pada waktunya yang sesuai. Kemudian frasa “daunnya tidak
akan layu” (tetap segar), berarti bahwa pengakuan iman akan dijaga suapaya
tidak rusak dan membusuk: dan yang tidak layu daunnya. Orang-orang yang yang
hanya menghasilkan pengakuan iman, tanpa satu pun buah yang baik, daun mereka
akan layu, dan mereka menjadi malu akan pengakuan imannya itu, seperti
sebelumnya mereka bangga akan pengakuan itu. Tetapi jika Firman Allah
memerinytah di dalam hati, maka Firman itu akan menjaga pengakuan iman untuk
tetap hijau untuk mendatangkan kebahagiaan.[17]
Hasil
untuk mereka yang dengan setia mencari Allah dan Firman-Nya ia hidup di dalam
Roh. Karena air sering kali melambangkan Roh Allah (mis. Yoh. 7:38-39), maka
mereka akan diajar oleh Allah dan tinggal di dalam Firman-Nya akan menerima
sumber hidup yang tidak habis-habisnya dari Roh. Frasa “apa saja yang
diperbuatnya berhasil” tidak berarti bahwa tidak akan terjadi masalah atau
kegagalan, tetapi bahwa orang benar akan mengetahui kehendak dan berkat Allah
(lih.cat. 3 Yoh. 2).[18]
Ayat 4: Dalam
ayat ini Pemzmur memberikan gambaran tentang orang fasik seperti “sekam” yang
ditiupkan angin. Mereka ringan dan sia-sia. Mereka tidak berisi, tidak padat.
Mereka mudah diombang-ambingkan oleh setiap angin dan godaan. Mereka tidak
teguh.[19]
Dalam artian bahwa hidup mereka kosong dan tidak bernilai karena dosa dan kebodohannya.
Ayat 5: Pada
bagian ini kebinasaan orang fasik dibacakan. Dimana mereka akan dicampakkan
pada saat penghakiman mereka, sebagai para penghianat yang terbukti bersalah:Mereka tidak tahan dalam penghakiman.[20]
Secara singkat mereka akan dihukum Allah pada hari penghakiman (bnd. 76:8;
Mal. 3:2, Mat. 25:31-46; Why. 6:17).[21]
Ayat 6: Alasan
dibuatnya perbedaan di antara keadaan orang benar dan orang fasik ini ialah[22]:
1.
Allah harus mendapat
segala kemuliaan atas kesejahteraan dan kebahagiaan orang benar. Mereka
berbahagia sebab Tuhan mengenal jalan
mereka. Ia memilih mereka untuk berjalan di dalam kebahagiaan itu,
mencondongkan hati mereka untuk memilihnya, menuntun dan membimbing mereka di
dalamnya, dan mengatur segala langkah mereka.
2.
Orang-orang berdosa harus
menanggung segala kesalahan atas kehancuran mereka sendiri. oleh sebab itulah
orang fasik binasa, karena jalannya yang mereka telah pilih dan yang di
dalamnya mereka bertekad untuk berjalan, langsung mengantar pada kehancuran.
C.
Inti
Teks
Jika
kita memperhatika keseluruhan teks Mazmur 1:1-6, maka kita akan yang akan kita
temukan adalah perbandingan antara jalan orang yang benar dan jalan orang
fasik. Ayat 6 menjadi suatu kesimpulan teologis dari segala sesuatu yang telah
dikatakan. Buah yang pasti, selalu dan secara teratur dihasilkan dan orang yang
selalu Merenangkan Taurat Tuhan disebabkan oleh karena “Tuhan mengenal jalannya”,
artinya mencintainya. Barang siapa yang mencari Tuhan untuk mendengarkan
sabda-Nya (ay. 2), dia dicintai Tuhan (ay.6a). Taurat Tuhan adalah tanda Allah
yang mencintai manusia karena sabda-Nya adalah sabda cinta. Berbahagialah orang
yang kesukaannya adalah Taurat Tuhan! Sebaliknya orang fasik, karena hidup
tanpa Tuhan tanpa tanda kehadiran Tuhan, dengan sendirinya akan mengalami
kebinasaan. Perlu ditekankan bahwa, di sini tidak dikatakan bahwa Tuhanlah yang
menimpakan kebinasaan tersebut (bnd. 73:27; 146:9).[23]
D.
Aplikasi
Untuk
menjadi orang-orang yang tidak tergolong dalam kumpulan orang-orang fasik, maka
haruslah kita berjalan dalam kebenaran Firman Tuhan karena orang-orang yang
mencintai Taurat Tuahan mereka akan merasakan sukacita. Seseorang menempatkan
dirinya dalam golongan orang benar atau bukan orang bebar berdasarkan
tindakannya. Maka, Mazmur mengundang orang beriman untuk bergabung dengan
mereka yang menghormati Firman Allah, dan menghindari orang yang memberontak
atau melawan Allah.
Seruan
kebahagiaan Mazmur 1 mengingatkan kita kepada kata-kata Kristus “ yang
berbahagia adalah mereka yang mendengarkan Firman Allah dan memeliharanya”.
(Luk. 11:28; bnd. Yak. 1:19-25. Why. 1:3: “berbahagialah ia yang membacakan dan
mereka yang mendengarkan kata-kata nubuat ini dan yang menuruti apa yang
tertulis di dalamnya, sebab waktu sudah dekat”. Apabila kita melaksanakan sabda
Allah, kita membentuk suatu keluarga baru, yakni keluarga Kristus (Luk. 8:21;
Mat. 12:50; Mrk. 3:35). Jika demikian Tuhan sendirlah yang akan datang dan
bersemayam di dalam hati kita (Yoh. 14:23-24). Kita menjadi bait kediaman
Allah.[24] Maka
dari itu marilah kita mempersiapkan diri kita terhadap hal tersebut dan dengan
sungguh-sungguh mendapatkan perkenan Allah atas segala sesuatu dan memohon
pertolongannya dengan sepenih hati.
[1] W.S. Lasor, Pengantar Perjanjian Lama 2, Sastra dan
Nubuatan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), 41.
[2] Tim Penyusun, Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan (Jakarta:
Gandum Mas dan Lembaga Alkitab Indonesia, 2009), 813.
[4] Ibid.
[6] Dianne Bergant, Robert J.Karris, Tafsir
Alkitab Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 431.
[7] Marie Claire Barth,
Pareira, Kitab Mazmur 1-27 Pembimbing dan
Tafsirannya (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 123.
[8] Matthew Henry, Kitab
Mazmur 1-50 (Surabaya: Momentum,
2011), 2.
[9] Marie Claire Barth,
Pareira, Kitab Mazmur 1-27 Pembimbing dan
Tafsirannya (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 124.
[10] Ibid.
[11]Matthew Henry, Kitab Mazmur 1-50 (Surabaya: Momentum,
2011), 4.
[12] Marie Claire Barth,
Pareira, Kitab Mazmur 1-27 Pembimbing dan
Tafsirannya (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 124-125.
[13] Tim Penyusun, Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan (Jakarta:
Gandum Mas dan Lembaga Alkitab Indonesia, 2009), 816.
[14] Marie Claire Barth,
Pareira, Kitab Mazmur 1-27 Pembimbing dan
Tafsirannya (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 125.
[15] Matthew Henry, Kitab Mazmur 1-50 (Surabaya: Momentum, 2011), 6.
[16] Marie Claire Barth,
Pareira, Kitab Mazmur 1-27 Pembimbing dan
Tafsirannya (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 125.
[17] Matthew Henry, Kitab Mazmur 1-50 (Surabaya: Momentum, 2011), 8.
[18] Tim Penyusun, Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan (Jakarta:
Gandum Mas dan Lembaga Alkitab Indonesia, 2009), 816.
[19] Matthew Henry, Kitab Mazmur 1-50 (Surabaya: Momentum,
2011), 9-10.
[20] Ibid, 10.
[21] Tim Penyusun, Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan (Jakarta:
Gandum Mas dan Lembaga Alkitab Indonesia, 2009), 816.
[22] Matthew Henry, Kitab
Mazmur 1-50 (Surabaya: Momentum, 2011), 11-12.
[23] Marie Claire Barth,
Pareira, Kitab Mazmur 1-27 Pembimbing dan
Tafsirannya (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 126.
[24] Ibid, 128.
0 comments:
Post a Comment