Thursday, September 13, 2018

Tafsiran Kitab Mazmur 1:1-6



Tafsiran Kitab 
Mazmur 1:1-6
A.           Gambaran Umum Kitab
Dalam bahasa Ibrani ada kata mizmor yang artinya “sebuah nyanyian yang dinyanyikan dengan iringan musik”, namun judul kitab Mazmur dalam bahasa Ibrani adalah tehillim artinya “puji-pujian” atau “nyanyian pujian”. Mazmur 1 adalah mazmur pertama dalam bagian pertama dalam Kitab Mazmur di Alkitab Ibrani atau Perjanjian Lama dalam Alkitab Kristen. Para rabi menempatkannya sebelum Kitab Amsal dan tulisan hikmat lainnya, dengan alasan bahwa kumpulan tulisan Daud harus mendahului tulisan anaknya, Salomo. [1]
Kitab Mazmur ditulis oleh Daud dan orang lain seperti Bani Korah, Asaf, bahkan ada penulis tanpa nama. Namun untuk Kitab Mazmur pasal 1 penulis terutama adalah Daud. Dimana Sebagian besar dari Kitab Mazmur ditulis pada abad ke-10 SM semasa zaman keemasan puisi Israel.[2] Dengan adanya berbagai pengarang maka tempat penulisan pun di berbagai tempat.[3] Dengan demikian sangatlah jelas bahwa Daud yang mengarang sebagian besar kitab Mazmur, namun ia bukanlah penulis semua Kitab Mazmur.Kitab Mazmur telah ditulis oleh berbagai pengarang dalam tenggang waktu ribuan tahun dalam sejarah Israel.
Pada mulanya Kitab Mazmur ini ditujukan kepada bangsa Israel.[4] Tujuan penulisan Kitab Mazmur adalah ditulis dan ditujukan kepada orang saleh dan bukannya orang berdosa. Kitab Mazmur berisi nyanyian-nyanyian orang yang ditebus dan tidak berisi berita untuk orang yang tidak percaya.[5]
Puisi ini (Mzm. 1) ini digolongkan ke dalam Mazmur kebijaksanaan karena melukiskan, dan secara dramatis memperlawankan “dua jalan”, suatu pandangan fundamental dari manusia. Cara bicara Ibrani sering memandang pandangan hidup moral sebagai tindakan, dan melukiskannya dengan menyebutkan tindakan-tindakan khas dan akibat-akibatnya. Mazmur membagikan manusia dalam dua kelompok: mereka yang taat kepada kehendak Tuhan dalam ayat 1-3 dan orang yang tidak taat dalam ayat 4-5.[6]

B.            Tafsiran Teks
Ayat 1: Nyanyian kebijaksaan ini dibuka dengan seruan “berbahagialah (orang)” di mana seruan ini termasuk bahasa orang bijak/bijaksana. Berbahagia adalah suatu seruan kegembiraan, pujian, ajakan, dan harapan. Isinya dapat bermacam-macam, namun selalu tentang hubungan manusia (atau jemaah) dengan Tuhan.[7] Si pemazmur memulai dengan sifat dan keadaan orang saleh, supaya orang-orang saleh inilah yang pertama-tama boleh mendapat penghiburan yang menjadi milik mereka.[8] Ada tiga perbuatan “negatif” yang membuat orang berbahagia:
1.             “Tidak menuruti (=harf “tidak berjalan menurut”) nasihat orang fasik”. Kata “orang fasik” (rasa) sangat banyak dijumpai dalam mazmur dan kitab-kitab kebijaksanaan (dari 263 kali penggunaannya: 82 dalam Mazmur; 26 dalam Ayab; 78 dalam Amsal; 7 dalam Pengkhotbah). Kata ini kerap dijumpai sejajar dengan “orang benar” (saddiq) sebagai lawan katanya. Dalam ayat ini kata “orang fasik” terdapat sejajar dengan   “orang bedosa” (1:5; 104:35) dan “pencemooh” (lihat pula Ams. 9:7). Sehingga berbahagialah orang yang tidak menuruti nasihat-nasihat untuk berbuat jahat.[9] Orang fasik  sangat bersemangat memberikan nasihat mereka melawan agama, dan semua itu diatur dengan sangat terampil, sehingga bila kita terhindar dari noda dan jeratnya, bolehlah kita merasa lega dan berbahagia.
2.             “Yang tidak berdiri di jalan orang berdosa” artinya, tidak mengikuti teladan orang berdosa. Kata “orang berdosa” kemungkinan digunakan untuk menunjukkan orang yang berkanjang dalam dosa. Dalam bahasa Ibrani kata kerja untuk kata “berdosa” sama dengan “meleset”, “tidak kena sasaran” (Hak. 20:16 dan “salah langkah”; Ams. 19:2).[10] Matthew Henry menjelaskan bahwa orang yang tidak berdiri di jalan orang fasik, ia tidak akan masuk ke dalam jalan itu, apalagi terus berjalan di dalamnya, seperti yang dilakukan orang berdosa, yang memperlihatkan dirinya di jalan yang tidak baik (36:5) tetapi menjaga dirinya sejauh mungkin dari mereka karena barang siapa yang ingin terhindar dari bahaya harus terhindar dari jalan bahaya.[11]
3.             “Tidak duduk dalam kumpulan pencemooh”, artinya, bersekutu atau ambil bagian dalam kumpulan percakapan orang yang sombong yang menertawakan Allah dan jalannya (73:9-11; Yes. 28:15; 29:20) serta menganggap remeh hukum (Ams. 19:28) dan kebijaksanaan.
Jadi yang menjadi inti dari ketiga perbuatan ini ialah menjauhi pergaulan dengan orang-orang fasik atau menolak pencobaan-pencobaan untuk mengikuti cara hidup mereka.
Ayat 2: Inti pernyataan “berbahagialah orang sebenarnya jika itu diperhatikan maka itu terletak pada ayat 2, sedang ayat 1 lebih bersifat menonjolkan kebenaran yang dikatakan dalam ayat 2 ini. Yang berbahagia adalah “orang yang kesukaannya ialah Turat Tuhan dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam”. “kesukaan” adalah suatu kata yang menunjukkan perasaan cinta dan rindu kepada seseorang (Kej. 34:9); 1 Sam. 19:1) atau sesuatu, baik secara konkrit (Yes. 13:17) maupun secara abstrak (Est. 6:6-7). Sangat menarik karena di sini pemazmur menggunakan kata “kesukaan”. Berbahagialah orang yang kesukaannya ialah “Taurat Tuhan” (bdn. 119:1-2). Taurat aslinya berarti pengajaran, entah itu dari bijak dan orang tua tentang kebijaksanaan hidup atau dari para imam tentang kualitas ibadat. Taurat Tuhan juga dapat berarti keseluruhan penyataan kehendak Tuhan yang sudah tertulis atau dibukukan singkatnya Kitab Suci yang dapat dibacakan (Ul. 31:9-11) atau dibaca (Yos. 1: 7-8). [12]
Orang yang diberkati Allah bukan hanya berbalik dari kejahatan, tetapi juga membangun hidup mereka di sekitar Firman Tuhan. Mereka berusaha untuk menaati kehendak Allah dari hati yang sungguh-sungguh senang akan jalan dan perintah Allah (lih. 2 Tes. 2:10, di mana dikatakan bahwa orang fasik binasa karena “tidak menerima dan mengasihi kebenaran”).[13]
Kesukaan akan Taurat Tuhan itu dibuktikan dengan “merenungkan Taurat itu siang dan malam”. Aslinya merenungkan sebenarnya “mendaraskan” atau “mengaji”, artinya membacakan untuk diri sendiri dengan suara halus (bnd. Yos. 1:7-8; Mzm. 35:28). Hal itu dilakukan “siang dan malam”, artinya secara terus menerus (bnd. Ul. 6:4-7). Kesukaan yang lahir dari cinta mendorong suatu keakraban antara yang mencintai dan dicintai.[14] Matthew Henry berpendapat bahwa merenungkan Firman Allah berarti bercakap-cakap dengan diri kita sendiri, mengenai perkara-perkara besar yang terkandung di dalamnya, dengan niat ingin menerapkannya dalam kehidupan kita, dengan pikiran yang teguh, sampai perkara-perkara itu meresap benar dalam diri kita dan hingga kita mencium aroma serta mengalami kuasanya di dalam hati kita. Hal ini harus dilakukan siang dan malam. Kita harus memilikinya di dalam pikiran kita, apa pun yang terjadi, entah malam atau siang. Tidak ada waktu yang salah untuk merenungkan Firman Allah, dan tidak ada waktu yang tidak tepat untuk melakukannya.[15] Maka dalam ayat ini dapat kita melihat bahwa orang yang menyukai dan mencintai Taurat  Tuhan atau Firman Allah dan selalu  merenungkan dan melakukannya dengan tidak dibatasi dengan waktu, maka orang inilah yang dikatakan berbahagia.
Ayat 3: Ayat ini menjelaskan dalam bahasa gambaran, mengapa orang yang dilukiskan dalam ayat 1-2 disebut berbahagia. Kebahagiaan di sini digambarkan melalui sebuah perumpamaan : ia seperti pohon yang ditanam didekat aliran air. Kita perlu mengetahui bahwa iklim di Palestina sangat panas dan kering maka dari itu karena ditanam di dekat aliran air maka ia akan berbuah menurut musimnya.[16] Maksud dari berbuah pada musimnya di sini ialah bahwa mereka menjadikan musim itu paling indah dan paling berguna, dengan memamfaatkan setiap kesempatan intuk berbuat baik pada waktunya yang sesuai. Kemudian frasa “daunnya tidak akan layu” (tetap segar), berarti bahwa pengakuan iman akan dijaga suapaya tidak rusak dan membusuk: dan yang tidak layu daunnya. Orang-orang yang yang hanya menghasilkan pengakuan iman, tanpa satu pun buah yang baik, daun mereka akan layu, dan mereka menjadi malu akan pengakuan imannya itu, seperti sebelumnya mereka bangga akan pengakuan itu. Tetapi jika Firman Allah memerinytah di dalam hati, maka Firman itu akan menjaga pengakuan iman untuk tetap hijau untuk mendatangkan kebahagiaan.[17]
Hasil untuk mereka yang dengan setia mencari Allah dan Firman-Nya ia hidup di dalam Roh. Karena air sering kali melambangkan Roh Allah (mis. Yoh. 7:38-39), maka mereka akan diajar oleh Allah dan tinggal di dalam Firman-Nya akan menerima sumber hidup yang tidak habis-habisnya dari Roh. Frasa “apa saja yang diperbuatnya berhasil” tidak berarti bahwa tidak akan terjadi masalah atau kegagalan, tetapi bahwa orang benar akan mengetahui kehendak dan berkat Allah (lih.cat. 3 Yoh. 2).[18]
Ayat 4: Dalam ayat ini Pemzmur memberikan gambaran tentang orang fasik seperti “sekam” yang ditiupkan angin. Mereka ringan dan sia-sia. Mereka tidak berisi, tidak padat. Mereka mudah diombang-ambingkan oleh setiap angin dan godaan. Mereka tidak teguh.[19] Dalam artian bahwa hidup mereka kosong dan tidak bernilai karena dosa dan kebodohannya.
Ayat 5: Pada bagian ini kebinasaan orang fasik dibacakan. Dimana mereka akan dicampakkan pada saat penghakiman mereka, sebagai para penghianat yang terbukti bersalah:Mereka tidak tahan dalam penghakiman.[20] Secara singkat mereka akan dihukum Allah pada hari penghakiman (bnd. 76:8; Mal. 3:2, Mat. 25:31-46; Why. 6:17).[21]
Ayat 6: Alasan dibuatnya perbedaan di antara keadaan orang benar dan orang fasik ini ialah[22]:
1.             Allah harus mendapat segala kemuliaan atas kesejahteraan dan kebahagiaan orang benar. Mereka berbahagia sebab Tuhan mengenal jalan mereka. Ia memilih mereka untuk berjalan di dalam kebahagiaan itu, mencondongkan hati mereka untuk memilihnya, menuntun dan membimbing mereka di dalamnya, dan mengatur segala langkah mereka.
2.             Orang-orang berdosa harus menanggung segala kesalahan atas kehancuran mereka sendiri. oleh sebab itulah orang fasik binasa, karena jalannya yang mereka telah pilih dan yang di dalamnya mereka bertekad untuk berjalan, langsung mengantar pada kehancuran.

C.           Inti Teks
Jika kita memperhatika keseluruhan teks Mazmur 1:1-6, maka kita akan yang akan kita temukan adalah perbandingan antara jalan orang yang benar dan jalan orang fasik. Ayat 6 menjadi suatu kesimpulan teologis dari segala sesuatu yang telah dikatakan. Buah yang pasti, selalu dan secara teratur dihasilkan dan orang yang selalu Merenangkan Taurat Tuhan disebabkan oleh karena “Tuhan mengenal jalannya”, artinya mencintainya. Barang siapa yang mencari Tuhan untuk mendengarkan sabda-Nya (ay. 2), dia dicintai Tuhan (ay.6a). Taurat Tuhan adalah tanda Allah yang mencintai manusia karena sabda-Nya adalah sabda cinta. Berbahagialah orang yang kesukaannya adalah Taurat Tuhan! Sebaliknya orang fasik, karena hidup tanpa Tuhan tanpa tanda kehadiran Tuhan, dengan sendirinya akan mengalami kebinasaan. Perlu ditekankan bahwa, di sini tidak dikatakan bahwa Tuhanlah yang menimpakan kebinasaan tersebut (bnd. 73:27; 146:9).[23]

D.           Aplikasi
Untuk menjadi orang-orang yang tidak tergolong dalam kumpulan orang-orang fasik, maka haruslah kita berjalan dalam kebenaran Firman Tuhan karena orang-orang yang mencintai Taurat Tuahan mereka akan merasakan sukacita. Seseorang menempatkan dirinya dalam golongan orang benar atau bukan orang bebar berdasarkan tindakannya. Maka, Mazmur mengundang orang beriman untuk bergabung dengan mereka yang menghormati Firman Allah, dan menghindari orang yang memberontak atau melawan Allah.
Seruan kebahagiaan Mazmur 1 mengingatkan kita kepada kata-kata Kristus “ yang berbahagia adalah mereka yang mendengarkan Firman Allah dan memeliharanya”. (Luk. 11:28; bnd. Yak. 1:19-25. Why. 1:3: “berbahagialah ia yang membacakan dan mereka yang mendengarkan kata-kata nubuat ini dan yang menuruti apa yang tertulis di dalamnya, sebab waktu sudah dekat”. Apabila kita melaksanakan sabda Allah, kita membentuk suatu keluarga baru, yakni keluarga Kristus (Luk. 8:21; Mat. 12:50; Mrk. 3:35). Jika demikian Tuhan sendirlah yang akan datang dan bersemayam di dalam hati kita (Yoh. 14:23-24). Kita menjadi bait kediaman Allah.[24] Maka dari itu marilah kita mempersiapkan diri kita terhadap hal tersebut dan dengan sungguh-sungguh mendapatkan perkenan Allah atas segala sesuatu dan memohon pertolongannya dengan sepenih hati.



























[1] W.S. Lasor, Pengantar Perjanjian Lama 2, Sastra dan Nubuatan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), 41.
[2] Tim Penyusun, Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan (Jakarta: Gandum Mas dan Lembaga Alkitab Indonesia, 2009), 813.
[3] Devita Elsandi, “Makalah Kitab Mazmur” dalam http://onego1993.blogspot.com
[4] Ibid.
[5]  Blogger, Karya Anak Bangsa  “Bible Study: Mazmur” dalam http://kitabpengajaran.blogspot.com
[6] Dianne Bergant, Robert   J.Karris, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 431.
[7] Marie Claire Barth, Pareira, Kitab Mazmur 1-27 Pembimbing dan Tafsirannya (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 123.
[8] Matthew  Henry, Kitab Mazmur 1-50  (Surabaya: Momentum, 2011), 2.
[9] Marie Claire Barth, Pareira, Kitab Mazmur 1-27 Pembimbing dan Tafsirannya (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 124.
[10] Ibid.
[11]Matthew Henry, Kitab Mazmur 1-50 (Surabaya: Momentum, 2011), 4.
[12] Marie Claire Barth, Pareira, Kitab Mazmur 1-27 Pembimbing dan Tafsirannya (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 124-125.
[13] Tim Penyusun, Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan (Jakarta: Gandum Mas dan Lembaga Alkitab Indonesia, 2009), 816.
[14] Marie Claire Barth, Pareira, Kitab Mazmur 1-27 Pembimbing dan Tafsirannya (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 125.
[15] Matthew Henry, Kitab Mazmur 1-50  (Surabaya: Momentum, 2011), 6.
[16] Marie Claire Barth, Pareira, Kitab Mazmur 1-27 Pembimbing dan Tafsirannya (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 125.
[17] Matthew Henry, Kitab Mazmur 1-50  (Surabaya: Momentum, 2011), 8.
[18] Tim Penyusun, Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan (Jakarta: Gandum Mas dan Lembaga Alkitab Indonesia, 2009), 816.
[19] Matthew Henry, Kitab Mazmur 1-50 (Surabaya: Momentum, 2011), 9-10.
[20] Ibid, 10.
[21] Tim Penyusun, Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan (Jakarta: Gandum Mas dan Lembaga Alkitab Indonesia, 2009), 816.
[22] Matthew  Henry, Kitab Mazmur 1-50 (Surabaya: Momentum, 2011), 11-12.
[23] Marie Claire Barth, Pareira, Kitab Mazmur 1-27 Pembimbing dan Tafsirannya (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 126.
[24] Ibid, 128.

0 comments:

Post a Comment