Makalah
Teologi Kontekstual
tentang
“Model Antropologis mengenai Mantaa”
DISUSUN OLEH :
Nama : Krisnataniel
NIRM : 2020144000
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis bisa
menyelesaikan makalah ini. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih pada pihak-pihak yang baik secara
langsung maupun tidak langsung telah membantu proses penulisan makalah ini dari
awal hingga akhir. Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca. Penulis menyadari banyak kelemahan dan kekurangan dalam makalah
ini, oleh sebab itu kritik dan saran kepada penulis sangat harapkan dari para
pembaca. Judul dari makalah ini adalah Tentang “Teologi Kontekstual Mengenai Model
Antropologis Terhadap Mantaa” dengan topik dari mata kuliah Teologi
Kontekstual.
Mengkendek,
April 2017
DAFTAR ISI
JUDUL
I
KATA
PENGANTAR
II
DAFTAR ISIII
BAB I
PENDAHULUAN
1
A.
Latar Belakang Masalah 1
B.
Rumusan Masalah2
C.
Tujuan Penulisan 2
BAB
II ISI 3
A. Pengertian
Mantaa3
B. Hakikat
mantaa4
C. Relevansi
Keesaan Allah Dalam Kehidupan Masa Kini
D. Metode
penelitian
E. Gambaran
Umum Tempat penelitian
F. Analisis
kritis
BAB
III KESIMPULAN11
1. Kesimpulan9
2. Saran
9
DAFTAR PUSTAKA
10
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Model antropologis bersifat “antropologis” dalam dua arti. Pada
tempat pertama, model ini berpusat pada nilai dan kebaikan antropos, pribadi manusia dan yang kedua, model ini bersifat
antropologis dalam arti bahwa ia menggunakan wawasan-wawasan ilmu-ilmu sosial,
terutama antropologi. Arti kedua dari model antropologis ini mengacu pada
kenyataan bahwa penekanan utama dari pendekatan ini menyangkut teologi kontekstual
adalah kebudayaan.[1]
Jadi, perhatian utama model antropologis adalah pengukuhan atau pelestarian
jati diri budaya oleh seorang pribadi yang beriman Kristen.[2]
Maka dalan hal ini penulis hendak memaparkan contoh berteologi dengan
menggunakan model antropologis dalam budaya Toraja yakni acara mantaa (matawa).
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Mantaa
Acara mantaa merupakan salah satu acara terpenting dalam rangkaiaan
upacara rambu solo’. Acara mantaa adalah pembagian daging yang
dilaksanakan oleh pemangku adat kepada semua pihak dalam kampung di mana
upacara rambu solo’ dilaksanakan.
Perlu diketahui bahwa nilai yang terkandung di dalamnya adalah berupa
penghargaan kepada pejabat tertentu misalnya pemerintah, tokoh agama, dan
pendidik. Terkadang pembagian daging (mantaa) harus dikonsep sebelum
pelaksanaannya.[3]
Dalam acara mantaa versi Kesu’ bentuk mantaa
terdiri dari tiga macam[4]:
-
Mantaa
palonto’ ialah pembagian daging yang ditujukan
kepada rumpun keluarga. Otomatis pembagian palonto’
itu harus berurutan secara sistematis yakni mendahulukan tana’ bulaan selanjutnya tana’
bassi, kemudian tana’ karurung,
dan yang terakhir tana’ kua-kua kalau
masih ada daging.
-
Mantaa penghargaan
kerja
Pembagian daging kepada
pekerja. Daging ini dikhususkan kepada yang sudah berupaya mengerjakan
pemondokan, dekorasi, bahkan kepada yang mengiris daging pun harus mendapat bagian
dan pembagian daging macam ini disebut mantaa tom bi.
-
Mantaa
ma’pelindo (memilah yang lebih layak) dilaksanakan
setelah pembagian kepada pemangku adat dan masih ada yang bisa dibagi. Hal ini
hanya dapat dilaksanakan jikalau daging sangat terbatas sedangkan yang hadir
sungguh banyak.
Disamping ketiga cara mantaa di atas terkadang masih ada juga
yang dilaksankan pada tondo’ (daerah)
tertentu yang biasa disebut mantaa
ma’kala’ (pa’lembang-lembang) dan terkadang disebut juga mantaa padang. Yang dimaksud dengan ma’kala’, ma’lembang-lembang, atau mantaa
padang ialah daging yang diberikan
kepada kampung tetangga karena sudah tertanam sejak dahulu kala. Dengan kata
lain mantaa (pemberian daging)
semacam ini terlaksana karena adanya perjanjian antar kampung.[5]
Di dalam Ossoran Badong To Dirapai’ berisi riwayat hidup almarhum sejak
dilahirkan, bertumbuh menjadi dewasa, berkarya dalam masyarakat, menjadi tua,
meninggal lalu dilangsungkan upacara kematiannya; kemudian berangkat menuju ke Puya dan dari sana beralih ke Barat, di
mana ia naik ke dunia ke atas, menjadi dewa (mendeata
membali puang).[6]
Pada babak upacara kematiannya, salah satu kumplet berbunyi sebagai berikut
(dikutip dlm. Liku-Ada’, 20010:162):
Ungaraga
lempo’-lempo’, Ia
mendirikan sebuah panggung kecil,
Sola to lempo
bumarran, Sebuah aram-aran
berbau amis,
Nanai mantaa
langsa’ , Tempat
ia membagi-bagikan langsat,
Ussearan
buakayu. Menebarkan
buah-buahan.
Sandamibka’panan
balang, Maka semua
beroleh daging bagian paru-paru,
Sola usuk
panamile. Dan juga
rusuk kerbau jantan besar.
Bala’kaan
atau lempo
bumarran adalah panggung yang didirikan pada upacara kematian. Tempat
membagi-bagi daging (mantaa). Kuplet
di atas menandaskan bahwa orang mati itu sendirilah (secara figuratif) yang mendirikan
bala’kaan itu, tempat ia
membagi-bagikan daging kerbau yang dikorbankan pada upacara kematiannya itu.
Semua pihak dalam kampung memperoleh bagian. Dulu kerbau yang dikorbankan dalam
upacara kematian seseorang dipandang sebagai miliknya asendiri. Karena kalau
anak-anaknya mengorbankan kerbau atau babi, maka itulah yang akan menjadi dasar
pembagian warisan dikalangan anak-anak almarhum itu. Jadi memang daging kerbau
yang dibagi-bagikan dari bala’kaan itu
adalah milik orang mati itu sendiri. orang Toraja dulu bekerja keras selama
hidup, berupaya mengumpulkan harta. Untuk dibagi-bagikan pada ritus mantaa di upacara kematiannya! Dengan
demikian tujuan orang Toraja tempo dulu mengumpulkan harta bukanlah untuk
dimiliki dan dinikmati sendiri, melainkan untuk dibagi-bagikan pada upacara
kematiaannya kelak kepada mereka yang hidup, sebelum ia sendiri berangkat ke
dunia akhirat.[7]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dengan demikian penulis dapat
menyimpulkan bahwa dalam kebudayaan Toraja di dalamnya terkandung nilai-nilai
Injil salah satunya adalah upacara mantaa
yang dilakukan dalam upacara rambu solo’.
Dalam upacara mantaa nilai yang
terkandung seperti berbagi (bnd. Mat. 14:13-21; Mrk. 6:32-44; Luk. 9:10-17;
Yoh. 6: 1-13). Selain itu nilai yang terkandung di dalamnya adalah penghargaan
kepada orang-orang yang telah bekerja dalam upacara kematian. Jadi nilai luhur
yang mendasari ritus mantaa ialah
kerelaan berbagi milik, berbagi kehidupan, semangat kebersamaan, solidaritas
komuniter dan persatuan keluarga.
Foto Ma'tinggoro tedong:
baca juga:
Foto Ma'tinggoro tedong:
baca juga:
[1] Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual (Maumere-Flores:
Ledalero, 2002), 97-98.
[2] Ibid, hlm. 96.
[3] Berdasarkan Wawancara
Penulis dengan Bapak Samuel Karre, Sabtu, 12 Desember 2015.
[4] Ibid.
[5] Ibid
[6] Jhon L. Ada’,Reinterpretasi dan Reaktualisasi Budaya
Toraja (Yogyakarta: Gunung Sopai,2012), 39.
[7] Ibid, hlm. 39-40.
0 comments:
Post a Comment