PENDAHULUAN
Dalam
Teologi kontekstual di kenal beberapa model, Akan tetapi dalam pembahasan ini
kami kelompok akan lebih fokus kepada model antropologis. Model antropologis
bersifat ‘’antropologis’’ dalam dua
arti. Pada tempat pertama, model ini berpusat pada nilai dan kebaikan antropos, pribadi manusia[1]
dan kedua bersifat antropologis dalam arti bahwa ia menggunakan wawasan-wawasan
ilmu-ilmu sosial terutama antropologi yakni berupaya memahami secara jelas
jaring-jaring relasi manusia serta nilai-nilai yang membentuk kebudayaan
manusia. [2]
Demikian
dalam berteologi, tidak mungkin terlaksana
apabila tidak memiliki lokasi atau konteks dimana sang teolog bereaksi. Dengan
demikian, konteks dekat dimana kita berada saat ini ialah konteks wilayah adat
ke Toraja. Daerah ini memiliki budaya yang dihidupi secara turun-temurun oleh
orang Toraja tentunya. Salah satu budaya yang unik dalam daerah ini ialah budaya Aluk Rambu Solo’. Pelaksanaan Rambu Solo’ terproses dalam bentuk upacara
kematian. Menurut Pieter Batti, upacara Rambu
Solo’ tampilannya harus menggambarkan duka, pakaian dan asesosiries serba
hitam, sarana yang digunakan sederhana. [3]
ISI
Dalam
upacara Rambu Solo’, yang secara
turun temurun dihidupi ialah pemotongan kerbau dan babi. Pemotongan ini orang
Toraja menyebutnya mantunu. Menurut
kebiasaan mereka, tradisi budaya Mantunuini memiliki standar yang sudah
ditentukan oleh parengnge’/ ambek/indok (pemimpin
kampung) setempat. Standar itu menurut tradisi Nonongan Madandan adalah sebgai berikut.
No
|
Hari pelaksanaan
|
Banyaknya
|
Nama Aluk Rambu Solo’
|
|
Kerbau
|
Babi
|
|||
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
|
Satu hari
Dua hari
Tiga hari
Empat hari
Lima hari
Enam hari
Tujuh hari
Delapan
|
-
-
1-2
3-5
6-7
8-11
12-23
24-40
|
-
1-2
3-6
7-10
11-20
21-40
41-50
51-100
|
Disilli’
Dipasangbongi
Dipatallungbongi
Dipalimangbongi
Dipapitungbongi
Rapasan
Rapasan sundun
Rapasan sapu randanan[4]
|
Ketentuan pelasanaan di atas disesuaikan
dengan strata sosial masyarakatnya. Jadi, pemotongan kerbau dalam upacara Rambu Solo’ adalah suatu tradisi yang
secara turun temurun dilaksanakan pada kematian. Rambu Solo’ adalah upacara yang menandakan ungkapan rasa duka cita
atas kematian atau matinya sesorang. Dalam upacara kematian ini seorang anak
Toraja menerima harta milik (sawah) apabila melaksanakan atau turut dalam
keluarga itu melakukan pemotongan kerbau sesuai adat, yang di atur oleh To Parengge’ dan Ambe’ Tondok. Hal ini
menunjukkan bahwa pemotongan kerbau itu menyimbolkan rasa cinta kasih dalam
bentuk penghormatan kepada si mati sesuai dengan stratanya. Di sisi lain, daging
itu akan di bagi kepada semua orang yang ada dalam
kampung/desa dan semua partisipan upacara sesuai jumlah kerbau/babi, besar dan
jumlahnya di tentukan oleh To Parengge’
bersama Ambe’/Indo’ Tondok dengan
memperhitungkan berbagai Faktor antara lain:
1.
Lolo
Tau
Beberapa
banyak orang anaknya dan dimana bekerja. Osokan
rakka’ sangpulona/kaletteran utanna.
2.
Lolo
Tananan
Beberapa
banyak hasil padinya setiap panen atau dengan kata lain sawah yang di miliki
itu berapa banya, luasnya dan nilainya dalam kerbau.
3.
Lolo
Patuan
Beberapa
banyak kerbau yang di pelihara dan di miliki.
4.
Berapa banyak Piutang
budaya dalam bentuk kerbau dan babi, dan berapa hutang budaya kerbau dan babi.
5.
Posisi
kemasyarakatannya didalam kampung desa. Apakah sebagai Ambe’/Indo’ Tondok dan
sebagainya.[5]
Pandangan Kekristen menilai bahwa Mantunu
adalah sikap pemborosan, penanaman modal, dan
adu gengsi. Dengan melihat hal tersebut sebenarnya keliru
memahami Mantunu. Jika melihat motif
dari matunu dimana menekankan sikap berbagi, penghormatan, kepada
orang lain, yang berada dalam sesuatu
wilayah. Dengan melihat hal
ini keluarga memberikan
jamuan kepada setiap
orang yang hadir pada
saat itu sehingga
mereka tidak merasa
kelaparan. Sikap berbagi seperti
yang terdapat dalam
kitab Markus 6:30-44, ketika
Yesus memberi makan lima
ribu orang, di situ terlihat bahwa sikap berbagi
itu sangat penting.
Mantunu
adalah suatu cara
untuk menunjukan sikap
rasa
cinta kepada si
mati, agar si mati memperoleh kesejahtraan di puya
dan dia kembali
membali puang. Sama dengan Allah yang
oleh karena rasa cinta kasihNya kepada kita manusia, sehingga Ia rela
mengorbankan AnakNya yang Tunggal supaya setiap orang yang percaya kepadaNya
tidak binasa melainkan memperoleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16). Selain itu, disini kita juga melihat persamaan dalam kepercayaan orang Kristen bahwa untuk
memperoleh hidup yang kekal maka ada syarat yang
harus di penuhi yakni
percaya Yohanes 3:16c” supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa melainkan
beroleh hidup yang kekal”.
KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan
bahwa di dalam budaya Toraja terdapat
nilai-nilai Injil salah satunya
adalah dalam budaya
mantunu. Dalam budaya
mantunu terdapat nilai-nilai
seperti berbagi (Markus 6:30-44) dan penghormatan/penghargaan sebagai rasa cinta kasih
kepada si mati
(Yohanes 3:16) sehingga mantunu
dilakukan sebagai bekal ke puya
untuk memperoleh kesejahteraan
dan dapat membali
puang (Yoh. 3:16c).
DAFTAR
PUSTAKA
Batti,
Pieter. Reinterpertasi&Reaktualisasi Budaya Toraja. Yogyakarta:
Gunung Sopai. 2012
Bevans,
Stephen B. Model-Model Teologi
Kontekstual. Maumere: Ledalero. 2002.
Tulak,
Daniel. Kada Disedan Sarong, Bisara
Ditoke’ Tambane Baka. Rantepao: PT. Sulo. 1999.
Terima Kasih Telah Membaca!!!
[2] Ibid, hlm 98.
[3]Pieter
Batti, Reinterpertasi&Reaktualisasi Budaya Toraja , (Yogyakarta:
Gunung Sopai, 2012), hlm 90.
0 comments:
Post a Comment