TAFSIRAN
KITAB WAHYU 3:14-22
“Kepada Jemaat di
Laodikia”
A.
Pendahuluan
Dalam
kitab Wahyu tidak ada penjelasan yang detail tentang siapa penulis kitab ini
(Kitab Wahyu). Namun beberapa ahli seperti Justinus Martyr mengatakan bahwa Rasul Yohanes. Adalah penulis
Kitab Wahyu.[1]
Yang di tulis pada masa kerajaan Kaisar Domitianus di Roma (tahun 81-96), atau
pada akhir kerajaan Kaisar Nero (tahun 54-68). Secara khusus, kitad ini di
tulis untuk tujuh jemaat tertentu di tujuh kota di Asia Kecil, yaitu Propinsi
Asia yang terletak di bagian Barat negara Turki (Wahyu 1:11). Jarak antara
tujuh kota itu sekitar 50-80 kilometer. Bahkan kitab ini juga di tulis untuk
setiap orang Kristen (Wahyu 2:7, 17, 29). Tujuan utama surat ini ditulis dan
dikirim ialah untuk mendorong, menegur dan membesarkan hati.[2]
Wahyu
3:14-22, secara khusus di alamatkan kepada Jemaat yang ada di Laodikia (Wahyu
3:14a). Laodikia terletak kira-kira 43
mil sebelah tenggara Filadelfia, 11 mil sebelah Barat Kolose, dan 6 mil sebelah
Selatan Hierapolis (Kol. 4:13) di lembah Lisius.[3]
Kota Laodikia didirikan oleh Antiokhus II, yang adalah keturunan dari salah
satu jenderal Iskandar Agung. Kota Laodikia di namakan Laodikia sesuai dengan
nama istri Antiokhus, yaitu Laodike, yang diceraikan pada tahun 253 SM. Lokasi
kota ini strategis, karena dari sebelah barat, wilayah Frigia hanya dapat
dimasuki lewat lokasi Laodikia dan lokasi Filadelfila.[4]
Laodikia
adalah sebuah kota yang kaya karena kota ini adalah pintu gerbang ke Efesus,
batas timur kira-kira 100 mil merupakan pintu gerbang ke Siria[5]
sehingga perdagangan di kota itu berkembang dengan pesat. Juga bulu domba yang
menjadi hasil peternakan di sekitar Loadikia dipakai untuk membuat kain wol
hitam untuk pakaian dan karpet. Oleh karena perdagangan dan pendapatan dari wol
hitam itu, maka Laodikia menjadi kota perdagangan dan kota administratif. Pada
abad ke-17 M dan abad ke-60 M kota Laodikia dan beberapa kota lainnya di
hancurkan oleh gempa bumi yang sangat dahsyat. Kota-kota lain perlu dana dari
perbendaharaan Roma, tetapi pimpinan Laodikia menolak bantuan dana itu, karena
mereka mau memperbaiki kotanya sendri! Mereka menganggap diri mereka kaya.
Antonius
Agung membawa sekitar dua ribu keluarga Yahudi dari Babel ke Lidia dan Frigia
di abad ke-3 SM. Laodikia yang menjadi batas kedua wilayah itu menjadi tuan
rumah bagi banyak keluarga ini dan menjadi makmur. Sehingga kuil penyembahan
Kaisar mendapat tempat utama di Laodikia. Laodikia menyesuaikan diri dengan
agama-agama lain, berfoya-foya dengan kekayaan materi, memuaskan hidup dengan
kesenangan, dan gagal memenuhi tuntutan Kristus. Akibatnya, Tuhan Yesus tidak
memiliki kata-kata pujian atau penghargaan bagi jemaat ini dan jemaat lain yang
gagal memproklamasikan berita keselamatan.
B.
Tafsiran
Teks
Ayat
14 : “Dan tuliskanlah kepada malaikat jemaat di Laodikia: Inilah firman dari
Amin, Saksi yang Setia dan Benar, permulaan dari ciptaan Allah:”
Di awal teks ini di awali dengan
frasa “Dan tuliskanlah kepada malaikat
jemaat di Laodikia”. Apakah maksudnya dalam frasa itu tersurat kata
“malaikat”? Di sini kata malaikat tentu tidak secara harafiah mengacu kepada
malaikat. Akan tetapi lebih masuk akal jika kata ini diartikan sebagai seorang
manusia yang juga menjadi duta Allah di tengah-tengah jemaat-Nya, seperti:
seorang Penatua ataupun pemimpin jemaat. Bukan berarti bahwa hanya penatua dan
pemimpin jemaat di Laodikia yang menjadi penerima tunggal surat ini tetapi
nantinya akan dibacakan kepada jemaat sehingga jemaat pun dapat dikategorikan
sebagai penerimanya.[6]
Dalam frasa “Inilah firman dari Amin, Saksi yang Setia dan Benar, permulaan dari
ciptaan Allah” Hanya pada bagian ini, gambaran tentang Yesus Kristus tidak
langsung kepada penampakan-Nya kepada Yohanes di Patmos (1:12-16), tetapi dalam
salam pembuka Kitab Wahyu: “dan dari Yesus Kristus, saksi yang setia yang
pertama kali bangkit dari orang mati” (1:5a).[7]
Yesus mulai dengan menyebutkan diri-Nya dengan gelar yang sangat tinggi, yaitu[8]:
1.
Uraian bahwa Tuhan
Yesus adalah Amin berasal dari teks
Ibrani Perjanjian Lama. Amin merujuk apa yang benar, teguh, kokoh, dan
layak dipercaya. Tuhan Yesus mengenakan ini bagi Diri-Nya dan menafsirkannya di
anak kalimat berikutnya sebagai “Yang Setia dan Yang Benar”. Istilah setia dan benar merupakan terjemahan dari Istilah Ibrani yang sama, yaitu Amin.
2.
Yesus menyebutkan diri-Nya
Saksi yang setia dan benar. Frasa itu berarti bahwa apapun yang Tuhan Yesus
ucapkan pastilah benar, sehingga di akhir Kitab Wahyu kita membaca penegasan:
“perkataan ini adalah tepat dan benar” (21:5;22:6).
3.
Tuhan Yesus menyebutkan
diri-Nya “permulaan dari ciptaan Allah”. Kata permulaan (Yun.:arche) jangan diterjemahkan secara
pasif, seolah-olah Tuhan Yesus dicipta atau dicipta ulang, tetapi secara aktif,
karena oleh Dialah ciptaan Allah menjadi ada (Yoh. 1:1; Kol. 1:15-18; Ibr.
1:2). Hal ini mau menunjukkan bahwa Tuhan Yesus menjadikan segala sesuatu dan
dengan demikian, memiliki dan mengontrol mereka. selain itu, segala sesuatu
diciptakan untuk melayani Dia. Berita kepada jemaat di Laodikia adalah:
kebanggaan mereka akan kekayaan duniawi merupakan suatu kesalahan, karena
segala sesuatu adalah milik Tuhan yang layak menerima pujian dan kemuliaan.
Ayat 15-16: “Aku
tahu segala pekerjaanmu: engkau tidak dingin dan tidak panas. Alangkah baiknya
jika engkau dingin atau panas! Jadi karena engkau suam-suam kuku, dan tidak
dingin atau panas, Aku akan memuntahkan engkau dari mulut-Ku,”
Pada frasa ini Tuhan Yesus
mengatakan “Aku tahu..” seperti juga dalam keenam surat yang lain, tetapi dalam
surat ini kata ini bukan mereupakan pujian melainkan kritikan.[9]
Kemudian istilah “pekerjaan” yang mana muncul juga di surat-surat lain (2:2,
19; 3:1,8). Di sini kata ini memiliki arti yang sama dengan surat kepada jemaat
di Sardis (ayat 1): pekerjaan mereka tidak sempurna bahkan tidak layak
disebutkan. Tuhan tahu pekerjaan di Sardis dan Laodikia dan Ia menegur dengan
keras. Mereka tidak lagi aktif dan hidup: sejumlah kecil jemaat yang setia dan
Sardis bagaikan bara api yang menyala di tengah lapisan abu; jemaat di Laodikia
bagaikan persediaan air mereka yakni tidak panas ataupun dingin.[10]
Perkataan “Alangkah baiknya jika engkau
dingin atau panas” tegas sekali. Rupanya jika dikatakan “panas”, maksudnya
hidup bersemangat dan bertekun bagi Tuhan Yesus. Tetapi Dia lebih senang jika
orang bersifat “dingin” dari pada suam-suam kuku. Kalau mereka “dingin” mereka
sama sekali tidak mengenal Tuhan Yesus, tetapi rela mendengarkan.[11]
Kita menduga orang Kristen generasi
pertama di Laodikia telah menerima Injil dan dibakar oleh api serta antusiasme,
tetapi keturunan mereka menjadi suam-suam kuku. Mereka tidak tertarik untuk
menjadi saksi bagi Tuhan Yesus, hidup melayani Tuhan, mengkhotbahkan dan
mengajarkan Injilnya bagi pertumbuhan jemaat dan kerajaan Tuhan. Walaupun masih
memiliki Kitab Suci, mereka bersikap aptis, acuh tak acuh, tidak memperdulikan
perkara-perkara Tuhan (bdk. Ibr. 4:2; 6:5).[12]
“Jadi karena engkau suam-suam kuku,
dan tidak dingin atau panas, Aku akan memuntahkan engkau dari mulut-Ku”. Air
minum yang ada di Kolose sejuk, dingin dan enak. Di heiropolis, sepuluh
kilometer dari Laodikia, ada air panas yang menyehatkan, tetapi Tuhan Yesus
mengatakan mereka di Laodikia “tidak dingin dan tidak panas”. Dia menggambarkan
keadaan hati mereka “suam-suam kuku”. sehingga bagi Dia mereka tidak enak
melainkan menyebabkan muntah. Air dari mata air panas di Heiropolis mengalir ke
arah Laodikia, tetapi jauh sebelum kota Laodikia air panas itu sudah suam-suam
kuku.[13] Pada
waktu tiba di Laodikia air itu menjadi dingin dan kalsium karbonat di dalam air
itu membuat mereka mual ketika meminumnya. Sebaliknya, Kolose yang berjarak 11
mil diberkati dengan mata air yang menghasilkan air segar dan murni.[14]
Kristus tidak menyukai kekristenan
yang suam-suam kuku karena hal ini tidak bernilai. Jadi paling baik jika kita
mengartikan suam-suam kuku ini dengan: ragu-ragu, tidak mau memilih antara taat
kepada Allah dan tidak taat kepadanya.[15]
Air suam-suam kuku yang mengandung kalsium karbonat membuatnya dimuntahkan.
Serupa itu, Kekristenan nominal yang kosong dalam pekerjaan rohani, menjijikkan
bagi Allah dan Ia akan memuntahkan. Di sini Yesus tidak berkata “Aku pasti akan
memuntahkan engkau dari mulut-Ku,” tetapi “Aku akan memuntahkan engkau dari
mulut-Ku,” yang menyatakan anugerah Tuhan dalam memberi kesempatan bertobat
bagi jemaat Laodikia setelah mereka membaca surat ini.
Ayat 17:”Karena
engkau berkata: ‘aku kaya dan aku telah memperkaya diriku dan aku tidak
membutuhkan apa-apa,’ tetapi engkau tidak tahu, bahwa engkau melarat, dan
malang, miskin, buta dan telanjang”.
Kaya bisa merujuk harta materi
ataupun rohani. Jemaat itu mungkin merasa dirinya kaya akan benda-benda
jasmani, sebab Laodikia adalah kota yang letaknya sangat strategis dan
merupakan kota yang makmur. Laodikia dikenal sebagai pusat keuangan dan telah
membangun banyak gedung besar, pintu gerbang dan menara segera setelah gempa
bumi menghancurkan kota itu. Merekja menjadi sombong, tidak bergantung kepada
yang lain, dan bahkan mampu menolong tetangga mereka yang menderita akibat
bencana yang sama. anggota jemaat sepenuhnya setuju dalam hal bersikap mandiri
dan menolong jemaat lain. Mereka gagal melihat perbedaan antara kekayaan materi
dan rohani. Mereka menyombongkan kecukupan diri dan tidak membutuhkan Kristus.
Mereka buta secara rohani. Mereka bisa memenuhi kebutuhannya sendiri merupakan
kesombongan rohani, karewna iman dan keyakinan di dalam Tuhan tidak lagi
berfungsi.[16]
“Tetapi engakau tidak tahu, bahwa
engkau melarat, dan malang, miskin, buta, dan telanjang”. Kata “tetapi” sangat
mencolok dan menyatakan kondisi yang sebaliknya. Tuhan telah berkata “Aku tahu
pekerjaanmu” (ayat 15) dan saat ini Ia memberi tahu jemaat bahwa mereka tidak
tahu kondisi mereka sendiri. ia memakai kata “kamu” dalam bentuk singular untuk
merujuk jemaat secara keseluruhan. Ia melukiskan kondisi mereka dengan lima
adjektiva. Melarat (lih. Rm. 7:24)
menyatakan keduniawian jemaat yang mengabaikan perkara-perkara penting ilahi:
orang kata yang tidak memiliki harta berharga di mata Allah. Selain bangkrut
secara rohani mereka juga malang. Paulus memakai kata ini dalam bentuk
superlatif saat ia menegur orang yang meragukan kebangkitan, “ Jikalau kita
hanya dalam hidup ini saja menaruh pengharapan pada Kristus, maka kita adalah
orang-orang yang paling malang dari segala manusia” (I Kor. 15:19). Bukannya
menjadi kaya, jemaat Laodikia secara rohani miskin
karena dibutahkan oleh materi
(bdk. 2 Ptr. 1:9). Terakhir, mereka berdiri telanjang
di hadapan Allah dan tidak bisa menutupi rasa malu mereka.
Ayat 18: “Maka
Aku menasihatkan engkau, supaya engkau membeli dari pada-Ku emas yang telah
dimurnikan dalam api, agar engkau menjadi kaya, dan juga pakaian putih, supaya
engkau memakainya, agar jangan kelihatan ketelanjanganmu yang memalukan; dan
lagi minyak untuk melumas matamu, supaya engkau dapat melihat.
Dalam frasa ini Tuhan Yesus
mengajak jemaat di Laodikia untuk “membeli dari Tuhan” tiga macam benda, yaitu emas, pakaiaan putih, dan minyak untuk melumas mata. Memang mereka
sudah mempunyai emas, tetapi emas itu tidak dianggap murni. Emas surgawilah
yang murni. Emas itu dapat dibeli dengan ketaatan. Namun ditegaskan di sini
bahwa yang ditawarkan untuk dibeli bukanlah keselamatan. tetapi yang yang
ditawarkan untuk dibeli adalah kekayaan surgawi, yang diperoleh melalui usaha
kita. Hal ini jangan dicampur dengan apa yang dapat diambil dengan cuma-cuma,
yaitu keselamatan kekal yang bukan berdasarkan usaha kita, tetapi berdasarkan
karya Tuhan Yesus di kayu salib.[17]
Pakaian
putih perlu dikenakan untuk menutupi
ketelanjangan dari dosa sehingga tidak menjadi malu (bdk. 16:15). Orang Kristen
di Laodikia telanjang secara rohani, “segala alat tenunan di kota mereka tidak
bisa menenun pakaiaan untuk menutupi dosa mereka. laodikia bisa menyediakan
jubah dan bahan pakaian bagi seluruh dunia, tetapi kebenaran adalah jubah putih
yang Allah tuntut (lih.19:8), dan ini harus mereka peroleh dari Kristus,” hanya
Tuhan yang bisa menghapus dosa dan kesalahan, dan hanya Dia yang bisa
menyediakan jubah putih kebenaran.[18]
Orang-orang Kristen di Laodikia
dibutakan oleh penipuan diri, tidak bisa melihat dengan mata rohani. Dengan
pelumas mata yang Tuhan sediakan, mereka bisa melihat dosa-dosa mereka dalam
terang Firman Allah dan berjalan bersama Tuhan Yesus, sang terang dunia.[19]
Ayat 19: “Barang
siapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar, sebab itu bersungguh-sungguhlah dan
bertobatlah! 20. Lihat, Aku berdiri di muka pintu dan mengetuk; jikalau ada
orang yang mendengar suara-Ku dan membukakan pintu, Aku akan masuk dan
mendapatkannya dan Aku akan bersama-sama dengan dia, dan ia bersama-sama dengan
Aku”.
“Barang
siapa Kukasihi, ia ia Kutegor dan Kuhajar”
di dua ayat ini Tuhan memperingatkan jemaat di Laodikia.seperti banyak
ajaran-Nya, peringatan ini Ia dasarkan pada PL, yaitu Amsal 3:12 (bdk. Ibr.
12:6): “Karena Tuhan memberi ajaran kepada yang dikasihi-Nya.” Tuhan Yesus
mengubah orang ketiga menjadi orang pertama dan menambahkan kata menegur. Dalam teks Yunani, Ku di awal kalimat memberikan penekanan.
Terakhir, Tuhan berbicara secara umum. Ia berkata “barang siapa Kukasihi”,
untuk menunjukkan kasih dan hajaran berjalan bersama dalam memperbarui relasi
mereka.[20]
Meski verba Yunani agapao bisa diterjemahkan “sungguh
kukasihi” dan phileo bisa
ditejemahkan “kukasihi, kedua kata ini kerap dilihat sebagai sinonim Agapao muncul di surat kepada jemaat Filadelfia
“Aku mengasihi engkau”” (ay. 9), dan phileo
muncul di sini. Tidak berarti bahwa Tuhan Yesus mengasihi jemaat Filadelfia
dengan kasih yang sejati dan mengasihi jemaat Laodikia dengan kasih sayang.
Tetapi ini menunjukkan bahwa dalam konteks teguran dan hajaran Tuhan Yesus
menyapa jemaat di Laodikia dengan kasih.[21]
“Sebab
itu bersungguh-sungguhlag dan bertobatlah!” Pembaruan
terjadi saat jemaat menaati dua perintah: “bersungguh-sungguhlah” dan
“bertobatlah”. Tuhan meminta mereka mulai bersungguh-sungguh dengan hasrat yang
membangkitkan semangat rohani. Kesungguhan adalah komponen kasih yang penting
bagi Allah. Sementara perintah agar bersungguh-sungguh memakai bentuk present tense, untuk menunjukkan suatu
komunitas, “bertobat” merupakan tindakan satu kali untuk selamanya. Jemaat
Laodikia harus berbalik 180°
dengan meninggalkan masa lalu dengan sepenuh hati mengambil hidup baru di dalam
Kristus.[22]
“Lihat,
Aku berdiri di muka pintu dan mengetuk”.
Karena tertutup dari kehidupan rohani mereka, Tuhan Yesus secara figuratif
berdiri di muka pintu hati dan mengetuk untuk masuk (bdk.Yak. 5:9). Ia terus
mengetuk agar memperoleh perhatian, sehingga tidak ada yang berkata Tuhan tidak
memperingatkan mereka. ia memanggil mereka secara pribadi dengan terus mengetuk
pintu hati seolah-olah si tuam rumah sedang tidur. Yang ditekankan adalah
tanggung jawab manusia untuk melangkah ke pintu dan menjawab ketukan ini. Tuhan
berdiri di muka pintu hati, mengetuk berulang-ulang, dan mengharapkan respons
mereka.[23]
“Jikalau
ada orang mendengar suara-Ku dan membukakan pintu, Aku akan masuk mendapatkannya, dan Aku akan makan
bersama-sama dengan dia, dan ia bersama-sama dengan Aku”. Panggilan
pertobatan ini berjangkauaan luas dan ditawarkan kepada siapa pun. Tuhan tidak
hanya berdiri di muka pintu dan terus mengetuk, Ia juga berbicara dan memanggil
orang berdosa untuk bertobat. Pada waktu seseorang merespons suara Tuhan dia
akan masuk ke dalam hatinya. Perhatikan,
kendati sepenuhnya berada di tangan Tuhan, karena ayat ini menekankan Tuhan
Yesus yang berbicara, masuk ke dalam hati, dan makan bersama-sama orang yang
merespons. Tanggung jawab untuk mendengar dan merespons suara Tuhan jelas
terletak pada pendengar.[24]
Dalam konsep Timur undangan makan
menyatakan kepercayaan dan hormat tuan rumah kepada tamunya (Maz. 41:10),
karena tuan rumah membuka rumah untuk tamunya dan memecahkan roti bersama dia.
Di sini Tuhan berperan sebagai tuan rumah, karena Ia berkata bahwa Ia akan
masuk dan mendapatkannya dan makan bersama-sama. ayat ini penekanannya adalah
persekutuan dengan Kristus.[25]
Ayat 21: “Barang siapa
menang, ia akan kududukkan bersama-sama dengan Aku di atas takhta-Ku,
sebagaimana Aku pun telah menang dan duduk bersama-sama dengan Bapa-Ku di
atastakhta-Nya. 22. Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang
dikatakan Roh kepada jemaat-jemaat”.
Seperti surat-surat lainnya,
Yohanes menulis frasa yang sangat akrab, “barang siapa yang menang” dan
kemudian menuliskan janji yang Tuhan Yesus bagikan bagi para pemenang. Hal ini
menunjuk bahwa Tuhan Yesus pertama-tama berjanji kepada jemaat di Laodikia,
lalu kepada semua orang percaya. Betapa beaar anugerah dan kemurahan Tuhan bagi
jemaat yang sama sekali tidak dipuji ini! Mereka yang bertobat dan menang akan
beroleh hak istimewa untuk duduk bersama Kristus di Takhta Allah Bapa (Mat.
19:28; Luk. 22:28-30). Pasal ini ditutup dengan pengulangan yang sangat dikenal
untuk mendengarkan apa yang Roh Kudus katakan kepada jemaat. itu berarti
seluruh jemaat menerima pujian, teguran, dan janji Kristus.[26]
C.
Kesimpulan
Laodikia merupakan daerah yang
cukup sentral untuk dunia perdagangan, sehingga daerah ini cukup makmur dan
kaya dari segi materi. Namun, ketika Laodikia menjadi tuan rumah dari
orang-orang Yahudi korban bencana gempa bumi yang dibawa oleh Antiokus Agung
untuk menjadikan mereka makmur, maka dibangunlah Kuil penyembahan Kaisar di
Laodikia. Maka orang-orang di Laodikia mengikuti cara hidup orang-orang Yahudi
seperti hidup beefoya-foya dengan kekayaan materi, sehingga gagal memenuhi
tuntutan Kristus. Memang mereka kaya secara materi namun pada kenyataannya
mereka melarat dan malang, miskin, buta dan telanjang secara rohani. Generasi
pertama di Laodikia menerima Injil dengan baik namun keturunan mereka menjadi
suam-suam kuku.
Terima Kasih telah Membaca..!!
Artikel terkait di pancasilasebagaifalsafahidup.blogspot.com
[1] Dave
Hagelberg, TafsiraN Wahyu dari Bahasa
Yunani (Yogyakarta:ANDI, 2005), Hlm. 1.
[2]Ibid,
Hlm. 3-4.
[3] Simon J.
Kistemaker, Tafsiran Kitab Wahyu (Surabaya:
Momentum, 2009), Hlm. 178.
[4] Dave
Hagelberg, TafsiraN Wahyu dari Bahasa
Yunani (Yogyakarta:ANDI, 2005), Hlm. 99-100.
[5] Simon J.
Kistemaker, Tafsiran Kitab Wahyu (Surabaya:
Momentum, 2009), Hlm. 178.
[6] Adi
Putra, Bahan Ajar: Tafsiran Perjanjian
Baru Bagian kedua, Hlm. 69.
[7] Simon J.
Kistemaker, Tafsiran Kitab Wahyu (Surabaya:
Momentum, 2009), Hlm. 180.
[8] Ibid.
[9] Dave
Hagelberg, TafsiraN Wahyu dari Bahasa
Yunani (Yogyakarta:ANDI, 2005), Hlm. 102.
[10] Simon J.
Kistemaker, Tafsiran Kitab Wahyu (Surabaya:
Momentum, 2009), Hlm. 181.
[11] Dave
Hagelberg, TafsiraN Wahyu dari Bahasa
Yunani (Yogyakarta:ANDI, 2005), Hlm. 102.
[12] Simon J.
Kistemaker, Tafsiran Kitab Wahyu (Surabaya:
Momentum, 2009), Hlm. 181.
[13] Dave
Hagelberg, TafsiraN Wahyu dari Bahasa
Yunani (Yogyakarta:ANDI, 2005), Hlm. 102.
[14] Simon J.
Kistemaker, Tafsiran Kitab Wahyu (Surabaya:
Momentum, 2009), Hlm. 181-182.
[15] J.J. de
Heer, Tafsiran Alkitab Wahyu Yohanes (Jakarta:BPK
Gunung Mulia, 2008), Hlm. 58.
[16] Simon J.
Kistemaker, Tafsiran Kitab Wahyu (Surabaya:
Momentum, 2009), Hlm. 181-183.
[17] Dave
Hagelberg, TafsiraN Wahyu dari Bahasa
Yunani (Yogyakarta:ANDI, 2005), Hlm. 104.
[18] Simon J.
Kistemaker, Tafsiran Kitab Wahyu (Surabaya:
Momentum, 2009), Hlm. 181-185.
[19] Ibid.
[20] Ibid,
Hlm. 186.
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23] Ibid,
Hlm. 186-187.
[24] Ibid,
Hlm. 187.
[25]Ibid.
[26] Ibid,
Hlm. 188-189.
0 comments:
Post a Comment